Selasa, 23 Agustus 2016

NONTON TIGA DARA



Pertama-tama, ijinkanlah saya berterima kasih pada tehnologi. Bagaimana tidak, coba. Gambar yang hancur berantakan, hitam bopeng sana-sini kok tiba-tiba jadi clear di tangannya mas Taufiq Marhaban, orang pinter nan jenius yang bisa ngisik-isik frame tersebut jadi kinclong. Belum lagi suara sember pating krewet yang berubah menjadi bening. Sebening raut wajahnya Indriyanti Ishak yang ampun-ampunan cantiknya !

Saya pernah nonton film tersebut puluhan tahun yang lalu (penjelasan puluhan tahun ini saya rasa perlu. Bukan sok tua, tetapi ini ilmu membandingkan). Ada almarhum Sumardjono (beliau salah satu editor top negeri ini. Pengajar senior di IKJ) di sebelah saya, lalu ada Arya Kusuma Dewa (ini juga. Sutradara top republik ini. Karyanya selalu menjadi catatan sejarah sinema Indonesia) dan yang terakhir Arturo GP (sama persis. Editor handal kelas festival. Kabar terakhir beliau sedang menulis disertasi S3-nya). Lalu saya (ini asli bukan siapa-siapa).

Pak Mardjono hanya memutar film itu sepotong demi sepotong lalu menjelaskan panjang lebar tentang siapa Usmar Ismail, bagaimana film ini dibuat, dan lain lain saking banyaknya. Saya melongo mendengar beliau cerita. Seperti dongeng kalau di bawah kaki kita ada duit milyaran gitu. Saya hanya tahu sejarah film itu dari buku-buku, tiba-tiba ada sosok yang bisa bercerita di depan saya.

Nah kemarin akhirnya saya bisa full nonton film tersebut dengan nyaman. Tanpa kresek dan pating krewet ! Bisa senyum-senyum melihat Fifi Young yang mainnya wajar bukan buatan, ada Citra Dewi yang cantik prototype tahun tahun segitu, Ibu Mieke Wijaya yang menari cha-cha dan lagi-lagi Indriyati Ishak yang ampun ampunan cantiknya (Ini apanya si Gery Ishak ya ? Kalau ada yang tahu mbok dikomenin).

Secara cerita film ini sederhana. Kisah tentang seorang nenek yang mencemaskan cucu perempuannya yang belum juga menikah. Ini jelas pola tutur tahun segitu, yang sampai saat ini masih relevan juga. Banyak orang tua yang masih saja harus berjibaku mencarikan jodoh buat anak perempuannya.

Tetapi lihatlah bagaimana film ini mengalir dengan enaknya. Usmar Ismail tidak pretensius membuat film ini jadi seperti teks soal perjodohan yang dihubungkan dengan feodalisme dan lain sebagainya. Atau si cucu perempuan yang kemudian bicara soal hak perempuan untuk menafsirkan nasibnya sendiri. Ya nenek cemas karena cucunya yang cantik lebih suka di dapur daripada dansa-dansi cha-cha dan serampang dua belas. Gitu aja !

Usmar Ismail menempatkan setiap frame seperti sebuah tata panggung. Pemain menjadikan ruang seperti sebuah pertunjukan dengan pola gerakan dua dimensi saja. Saya tidak tahu ini soal tehnologi atau gimana, tetapi kesederhanaan itu ternyata buat saya menjadikan impresi yang berbeda. Film Tiga Dara berisikan lagi-lagu yang popular pada masanya. Penonton dihibur oleh kekuatan lagu dalam film ini sekaligus kesederhanaan pola dramaturgi.

Makanya, nontonlah film ini. Tidak perlu sampai berkerut-kerut karena rumitnya cerita, atau membelalak mata karena adegan spektakuler. Semua berjalan biasa dan sederhana. Nikmati saja sambil senyum-senyum dan tertawa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar