Pertama-tama, ijinkanlah
saya berterima kasih pada tehnologi. Bagaimana tidak, coba. Gambar yang hancur
berantakan, hitam bopeng sana-sini kok tiba-tiba jadi clear di tangannya mas
Taufiq Marhaban, orang pinter nan jenius yang bisa ngisik-isik frame tersebut
jadi kinclong. Belum lagi suara sember pating krewet yang berubah menjadi
bening. Sebening raut wajahnya Indriyanti Ishak yang ampun-ampunan cantiknya !
Saya pernah nonton film
tersebut puluhan tahun yang lalu (penjelasan puluhan tahun ini saya rasa perlu.
Bukan sok tua, tetapi ini ilmu membandingkan). Ada almarhum Sumardjono (beliau
salah satu editor top negeri ini. Pengajar senior di IKJ) di sebelah saya, lalu
ada Arya Kusuma Dewa (ini juga. Sutradara top republik ini. Karyanya selalu
menjadi catatan sejarah sinema Indonesia) dan yang terakhir Arturo GP (sama
persis. Editor handal kelas festival. Kabar terakhir beliau sedang menulis
disertasi S3-nya). Lalu saya (ini asli bukan siapa-siapa).
Pak Mardjono hanya
memutar film itu sepotong demi sepotong lalu menjelaskan panjang lebar tentang
siapa Usmar Ismail, bagaimana film ini dibuat, dan lain lain saking banyaknya.
Saya melongo mendengar beliau cerita. Seperti dongeng kalau di bawah kaki kita
ada duit milyaran gitu. Saya hanya tahu sejarah film itu dari buku-buku,
tiba-tiba ada sosok yang bisa bercerita di depan saya.
Nah kemarin akhirnya
saya bisa full nonton film tersebut dengan nyaman. Tanpa kresek dan pating
krewet ! Bisa senyum-senyum melihat Fifi Young yang mainnya wajar bukan buatan,
ada Citra Dewi yang cantik prototype tahun tahun segitu, Ibu Mieke Wijaya yang
menari cha-cha dan lagi-lagi Indriyati Ishak yang ampun ampunan cantiknya (Ini
apanya si Gery Ishak ya ? Kalau ada yang tahu mbok dikomenin).
Secara cerita film ini
sederhana. Kisah tentang seorang nenek yang mencemaskan cucu perempuannya yang
belum juga menikah. Ini jelas pola tutur tahun segitu, yang sampai saat ini
masih relevan juga. Banyak orang tua yang masih saja harus berjibaku mencarikan
jodoh buat anak perempuannya.
Tetapi lihatlah
bagaimana film ini mengalir dengan enaknya. Usmar Ismail tidak pretensius
membuat film ini jadi seperti teks soal perjodohan yang dihubungkan dengan
feodalisme dan lain sebagainya. Atau si cucu perempuan yang kemudian bicara
soal hak perempuan untuk menafsirkan nasibnya sendiri. Ya nenek cemas karena
cucunya yang cantik lebih suka di dapur daripada dansa-dansi cha-cha dan
serampang dua belas. Gitu aja !
Usmar Ismail
menempatkan setiap frame seperti sebuah tata panggung. Pemain menjadikan ruang
seperti sebuah pertunjukan dengan pola gerakan dua dimensi saja. Saya tidak
tahu ini soal tehnologi atau gimana, tetapi kesederhanaan itu ternyata buat
saya menjadikan impresi yang berbeda. Film Tiga Dara berisikan lagi-lagu yang
popular pada masanya. Penonton dihibur oleh kekuatan lagu dalam film ini
sekaligus kesederhanaan pola dramaturgi.
Makanya, nontonlah film
ini. Tidak perlu sampai berkerut-kerut karena rumitnya cerita, atau membelalak mata
karena adegan spektakuler. Semua berjalan biasa dan sederhana. Nikmati saja
sambil senyum-senyum dan tertawa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar