Setiap
wilayah mempunyai tata cara dan tradisi tersendiri. Bagi siapapun yang datang
wajib untuk taat dan menuruti adat istiadat dan tradisi tersebut. Nah, ada
kejadian yang seharusnya tidak boleh terjadi. Sedikit memalukan, tetapi harus
diceritakan untuk sebuah proses pembelajaran bersama tentunya.
Shooting
Film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara
ini mengambil lokasi di tempat yang masih sarat dengan adat istiadat dan
tradisi yakni dusun Derok kabupaten Timur Tengah Utara. Menurut saya, adat dan
tradisi di sini secara keseharian lebih rumit dan komplit dibandingkan di Bali.
Hal yang kecil saja mereka mengisyaratkan sebuah upacara. Misalnya upacara
untuk mengambil madu di halaman rumah mereka sendiri atau memetik buah di pohon
!
Hari
itu kami datang dengan rombongan. Ada seorang pengantar putra daerah bernama Erwin Usboko yang sudah terlebih dahulu
kulanuwun mewakili kami. Ini salahnya ! Seharusnya salah satu diantara kami
ikut datang kulanuwun sebelum rombongan besar datang. Satu hal lagi. Pak Hamdhani Koestoro sang EP ingin agar
slametan produksi dilakukan ditempat yang sama. Makan besar sekampung dalam
arti sebenarnya.
Ini
yang harusnya dilakukan. Kami sebagai tamu seharusnya “menyerahkan” terlebih
dahulu materi slametan tersebut ke kepala dusun dan adat. Kemudian mereka yang
menyajikannya kepada kami, karena apapun namanya kami ini tamu yang datang.
Logika mereka simpel dan benar. Wong tamu kok bawa makanan ?
Inilah
yang kemudian terjadi. Setelah penyambutan tamu dengan tarian Likurai dan Tebe
barengan, tibalah saat makan-makan. Kami mempersilahkan para tetua dusun dan
adat untuk ikut makan. Tetapi dengan halus mereka menampik. Mereka tetap ada di
sudut tempat slametan, tetap dengan muka ramah dan terbuka untuk berbicara.
Saya mulai bertanya-tanya tentang reaksi mereka tersebut.
Jawaban
muncul dari opa Jokobus Kono sang
tetua adat. Beliau menerangkan bahwa kami sebagai rombongan sebenarnya
melakukan “kesalahan” adat yakni tidak kulanuwun sendiri tanpa harus memakai
perantara. Karena kami ini tamu, sementara perantara hanyalah makelar saja.
Duh..ini dia. Saya buru-buru menanyakan ke tetua adat apa yang harus kami lakukan.
Ya..harus
ada upacara permintaan maaf. Istilahnya kami harus meminta maaf kepada tuan
rumah atas kekhilafan ini, khususnya kepada para leluhur kampung dan tetua
dusun serta adat yang hadir. Jadilah. Kami harus melakukan upacara potong ayam
di depan rumah adat. Dalam bahasa Tetun-nya Katakasara
Tuipat Pata pata yaitu
persembahan potong ayam jantan putih untuk tetua adat. Kenapa harus jantan dan
putih. Jantang adalah lambang kekuatan sedangkan putih melambangkan kesucian
kedua belah pihak. Tamu yang dianggap melanggar adat sebenarnya mempunyai
maksud baik, sementara tuan rumah tetap memaafkannya dengan tulus hati.
Ayam
jantan putih yang telah disembelih tersebut diupacarai di depan rumah adat,
tepatnya di batu persembahan yang dinamakan Aitos.
Setelah disembelih, darahnya dicipratkan di Aitos, sebagian lagi menjadi bagian
dari sesaji yang diletakkan di dalam rumah adat. Bersama darah tersebut, ada
juga klewang, tempat pinang sirih perempuan yang disebut Ko’e mama dan tempat pinang sirih laki-laki yang disebut kakalak.
Setelah
semuanya selesai, ayam akan dibakar (ala kadarnya) dan kita boleh makan
bersama. Hebatnya, mereka bilang bahwa ayam tersebut disembelih dengan adat
istiadat mereka (maksudnya nggak pake Bismilah) jadi bagi pemeluk agama Islam
boleh tidak menyentuh ayah tersebut dan menggantinya dengan mengunyah pinang
sirih.
Dan
selesailah upacara penutup ini, yang mereka sebut sebagai Lolekarin harekarin. Di
ending selain kudapan ayam bakar rata asap itu adalah – tentu saja – pinang
sirih dan sopi. Sopi adalah arak yang dibuat dari buah lontar. Rasanya ya
seperti arak tradisional begitulah.
Begitulah.
Rasanya detik ke detik itu sebuah pembelajaran yang tidak pernah selesai. Sehebat
apapun kita ini..
Tabik…