Senin, 30 November 2015

Film AISYAH BIARKAN KAMI BERSAUDARA : Tahu Adat lah Kita ini ...


Setiap wilayah mempunyai tata cara dan tradisi tersendiri. Bagi siapapun yang datang wajib untuk taat dan menuruti adat istiadat dan tradisi tersebut. Nah, ada kejadian yang seharusnya tidak boleh terjadi. Sedikit memalukan, tetapi harus diceritakan untuk sebuah proses pembelajaran bersama tentunya.
Shooting Film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara ini mengambil lokasi di tempat yang masih sarat dengan adat istiadat dan tradisi yakni dusun Derok kabupaten Timur Tengah Utara. Menurut saya, adat dan tradisi di sini secara keseharian lebih rumit dan komplit dibandingkan di Bali. Hal yang kecil saja mereka mengisyaratkan sebuah upacara. Misalnya upacara untuk mengambil madu di halaman rumah mereka sendiri atau memetik buah di pohon !
Hari itu kami datang dengan rombongan. Ada seorang pengantar putra daerah bernama Erwin Usboko yang sudah terlebih dahulu kulanuwun mewakili kami. Ini salahnya ! Seharusnya salah satu diantara kami ikut datang kulanuwun sebelum rombongan besar datang. Satu hal lagi. Pak Hamdhani Koestoro sang EP ingin agar slametan produksi dilakukan ditempat yang sama. Makan besar sekampung dalam arti sebenarnya.
Ini yang harusnya dilakukan. Kami sebagai tamu seharusnya “menyerahkan” terlebih dahulu materi slametan tersebut ke kepala dusun dan adat. Kemudian mereka yang menyajikannya kepada kami, karena apapun namanya kami ini tamu yang datang. Logika mereka simpel dan benar. Wong tamu kok bawa makanan ?
Inilah yang kemudian terjadi. Setelah penyambutan tamu dengan tarian Likurai dan Tebe barengan, tibalah saat makan-makan. Kami mempersilahkan para tetua dusun dan adat untuk ikut makan. Tetapi dengan halus mereka menampik. Mereka tetap ada di sudut tempat slametan, tetap dengan muka ramah dan terbuka untuk berbicara. Saya mulai bertanya-tanya tentang reaksi mereka tersebut. 

Jawaban muncul dari opa Jokobus Kono sang tetua adat. Beliau menerangkan bahwa kami sebagai rombongan sebenarnya melakukan “kesalahan” adat yakni tidak kulanuwun sendiri tanpa harus memakai perantara. Karena kami ini tamu, sementara perantara hanyalah makelar saja. Duh..ini dia. Saya buru-buru menanyakan ke tetua adat apa yang harus kami lakukan.
Ya..harus ada upacara permintaan maaf. Istilahnya kami harus meminta maaf kepada tuan rumah atas kekhilafan ini, khususnya kepada para leluhur kampung dan tetua dusun serta adat yang hadir. Jadilah. Kami harus melakukan upacara potong ayam di depan rumah adat. Dalam bahasa Tetun-nya Katakasara Tuipat Pata pata yaitu persembahan potong ayam jantan putih untuk tetua adat. Kenapa harus jantan dan putih. Jantang adalah lambang kekuatan sedangkan putih melambangkan kesucian kedua belah pihak. Tamu yang dianggap melanggar adat sebenarnya mempunyai maksud baik, sementara tuan rumah tetap memaafkannya dengan tulus hati.

Ayam jantan putih yang telah disembelih tersebut diupacarai di depan rumah adat, tepatnya di batu persembahan yang dinamakan Aitos. Setelah disembelih, darahnya dicipratkan di Aitos, sebagian lagi menjadi bagian dari sesaji yang diletakkan di dalam rumah adat. Bersama darah tersebut, ada juga klewang, tempat pinang sirih perempuan yang disebut Ko’e mama dan tempat pinang sirih laki-laki yang disebut kakalak.

Setelah semuanya selesai, ayam akan dibakar (ala kadarnya) dan kita boleh makan bersama. Hebatnya, mereka bilang bahwa ayam tersebut disembelih dengan adat istiadat mereka (maksudnya nggak pake Bismilah) jadi bagi pemeluk agama Islam boleh tidak menyentuh ayah tersebut dan menggantinya dengan mengunyah pinang sirih.
Dan selesailah upacara penutup ini, yang mereka sebut sebagai Lolekarin harekarin. Di ending selain kudapan ayam bakar rata asap itu adalah – tentu saja – pinang sirih dan sopi. Sopi adalah arak yang dibuat dari buah lontar. Rasanya ya seperti arak tradisional begitulah.
Begitulah. Rasanya detik ke detik itu sebuah pembelajaran yang tidak pernah selesai. Sehebat apapun kita ini..

Tabik…