Kemarin
saya menonton Film Nay di Paviliun 28 Petogogan. Ternyata ada untungnya nonton
di venue kecil tapi nyaman itu. Lebih intens dan meditatif (?). Saya tidak
membayangkan jika nonton di bioskop dengan ragam penonton ( yang saya selalu
mengistilahkannya sebagai gerombolan) yang tidak seide. Dalam waktu hitungan
menit, melihat tokoh Nay yang ternyata hanya menyetir mobilnya memutari
Sudirman, Kuningan, SCBD para penonton yang mulai bosan pasti sudah membuka
gadget masing-masing dan tang ting tang ting. Nah di forum kemarin, semua
takzim melihat ke layar di depan seperti umat yang mendengarkan pemuka agama
ceramah.
Nay
adalah perempuan matang. Mempunyai seorang pacar yang bernama Ben dan manager
bernama Ajeng. Dalam sebuah perjalanan ia menelpon Ben untuk mengatakan bahwa
dirinya hamil. Si Ben yang anak mami berusaha menjaga jarak atas terjadinya
kehamilan tersebut. Ajeng yang tetap menginginkan karir Nay moncer, menelpon
Ben dan keduanya sepakat untuk mengugurkan kandungan Nay.
Nay
seperti melihat masa lalunya. Djenar dengan hebatnya menempatkan satu karakter
Nay untuk mewakili dua karakter lainnya dalam konteks paralel. Ketika Nay
melihat ke kirinya (atau kalau kita lihat filmnya ke kanan frame) itu adalah posisi
gugatan sebagai Nay kekinian terhadap ibunya. Ketika Nay frontal ke kamera, ini
adalah posisi Nay dalam menyikapi hidupnya sendiri. Nay melihat ke jendela atau
ke kanan, Nay bertransformasi sebagai sosok ibunya yang cocomeo (istilah ini
saya tidak ketemu bahasa Indonesianya) yang nasehat petatah petitihnya.
Penonton
merasakan pemberontakan Nay dalam tiga konsep yang berbeda. Satu ruang kabin
kecil mobil Mini Cooper ini menjadi ruang multi teater bagi Sha Ine Febrianti
untuk menjadi tiga karakter yang sebenarnya tumpuk jadi satu : Nay. Ini adalah
acrobat dramaturgi yang menarik. Artinya seorang Ine harus mengerti tentang
frekwensi dramaturginya, karena ia tidak melakukan pola peran dengan lawan
main. Ia yang paling mengerti dimana harus menjaga jarak emosi dengan sosok
kanan, kiri atau ke depan (berdasarkan posisi kamera).
Menurut
saya, ini kelebihan tetapi juga bisa menjadi kekurangan. Kelebihannya tentu
adalah kebebasan interpertasi. Sha Ine Febrianti boleh berteriak, menangis atau
tiba-tiba tertawa tanpa harus menala lawan mainnya. Kekurangannya adalah pola
ini bisa menjadi jebakan ketika tempo dramaturgi yang dimainkannya tidak
konstan, karena ini bukan sebuah panggung pertunjukan yang ritme emosionalnya
bisa dijaga. Ini adalah sebuah film panjang dengan masa produksi shooting lima
hari. Dan seorang Ine tidak tahu take mana yang harus dipakai sehingga ia tidak
bisa mengatur pola tersebut.
Lagi-lagi
Djenar yang jadi dirigen. Ia menjaga keseimbangan intensitas Ine yang
terperangkap dalam tubuh Nay sama besarnya. Seolah olah, mereka adalah pasangan
ganda pemain bulutangkis yang sama sama sudah mengerti kapan harus main lob
panjang atau net halus di depan net.
Kameraman
Ipung juga berhasil mencairkan ruangan mobil kecil itu menjadi ruang
pertunjukan yang memukau. Saya tidakk berkomentar soal angle, karena itu ada
dalam wilayah seorang kameraman. Tetapi kameranya efektif untuk mengerti
kedalaman ruang psykhologis seorang Nay.
Wajar
kalau film ini mendapatkan penghargaan di JogjaNETPAC Asean Film Festival 2015.
Tetapi
yang paling impresif adalah ketika ada seorang remaja perempuan abg di belakang
saya yang mengeluarkan statemen seperti ini : Saya baru sekali nonton film
seperti ini. Saya senang karena film ini membuat saya berpikir..
Sama
saya juga nak..
Tabik..