Rabu, 16 Desember 2015

Film NAY : Memindahkan Ruang Jiwa ke Mini Cooper !


 
Kemarin saya menonton Film Nay di Paviliun 28 Petogogan. Ternyata ada untungnya nonton di venue kecil tapi nyaman itu. Lebih intens dan meditatif (?). Saya tidak membayangkan jika nonton di bioskop dengan ragam penonton ( yang saya selalu mengistilahkannya sebagai gerombolan) yang tidak seide. Dalam waktu hitungan menit, melihat tokoh Nay yang ternyata hanya menyetir mobilnya memutari Sudirman, Kuningan, SCBD para penonton yang mulai bosan pasti sudah membuka gadget masing-masing dan tang ting tang ting. Nah di forum kemarin, semua takzim melihat ke layar di depan seperti umat yang mendengarkan pemuka agama ceramah.

Nay adalah perempuan matang. Mempunyai seorang pacar yang bernama Ben dan manager bernama Ajeng. Dalam sebuah perjalanan ia menelpon Ben untuk mengatakan bahwa dirinya hamil. Si Ben yang anak mami berusaha menjaga jarak atas terjadinya kehamilan tersebut. Ajeng yang tetap menginginkan karir Nay moncer, menelpon Ben dan keduanya sepakat untuk mengugurkan kandungan Nay.
Nay seperti melihat masa lalunya. Djenar dengan hebatnya menempatkan satu karakter Nay untuk mewakili dua karakter lainnya dalam konteks paralel. Ketika Nay melihat ke kirinya (atau kalau kita lihat filmnya ke kanan frame) itu adalah posisi gugatan sebagai Nay kekinian terhadap ibunya. Ketika Nay frontal ke kamera, ini adalah posisi Nay dalam menyikapi hidupnya sendiri. Nay melihat ke jendela atau ke kanan, Nay bertransformasi sebagai sosok ibunya yang cocomeo (istilah ini saya tidak ketemu bahasa Indonesianya) yang nasehat petatah petitihnya.
Penonton merasakan pemberontakan Nay dalam tiga konsep yang berbeda. Satu ruang kabin kecil mobil Mini Cooper ini menjadi ruang multi teater bagi Sha Ine Febrianti untuk menjadi tiga karakter yang sebenarnya tumpuk jadi satu : Nay. Ini adalah acrobat dramaturgi yang menarik. Artinya seorang Ine harus mengerti tentang frekwensi dramaturginya, karena ia tidak melakukan pola peran dengan lawan main. Ia yang paling mengerti dimana harus menjaga jarak emosi dengan sosok kanan, kiri atau ke depan (berdasarkan posisi kamera).
Menurut saya, ini kelebihan tetapi juga bisa menjadi kekurangan. Kelebihannya tentu adalah kebebasan interpertasi. Sha Ine Febrianti boleh berteriak, menangis atau tiba-tiba tertawa tanpa harus menala lawan mainnya. Kekurangannya adalah pola ini bisa menjadi jebakan ketika tempo dramaturgi yang dimainkannya tidak konstan, karena ini bukan sebuah panggung pertunjukan yang ritme emosionalnya bisa dijaga. Ini adalah sebuah film panjang dengan masa produksi shooting lima hari. Dan seorang Ine tidak tahu take mana yang harus dipakai sehingga ia tidak bisa mengatur pola tersebut.
Lagi-lagi Djenar yang jadi dirigen. Ia menjaga keseimbangan intensitas Ine yang terperangkap dalam tubuh Nay sama besarnya. Seolah olah, mereka adalah pasangan ganda pemain bulutangkis yang sama sama sudah mengerti kapan harus main lob panjang atau net halus di depan net.
Kameraman Ipung juga berhasil mencairkan ruangan mobil kecil itu menjadi ruang pertunjukan yang memukau. Saya tidakk berkomentar soal angle, karena itu ada dalam wilayah seorang kameraman. Tetapi kameranya efektif untuk mengerti kedalaman ruang psykhologis seorang Nay.
Wajar kalau film ini mendapatkan penghargaan di JogjaNETPAC Asean Film Festival 2015.
Tetapi yang paling impresif adalah ketika ada seorang remaja perempuan abg di belakang saya yang mengeluarkan statemen seperti ini : Saya baru sekali nonton film seperti ini. Saya senang karena film ini membuat saya berpikir..
Sama saya juga nak..

Tabik..