Kebiasaan nonton pameran
lukisan ini saya mulai sejak SMP. Ini gara-gara almarhum Semsar Siahaan mampir
ke Salatiga. Awalnya ia memamerkan lukisannya di GPD (Gedung Pertemuan Daerah)
Kotamadya Salatiga. Awalnya, saya nggak begitu tertarik. Ketika ada rombongan
orang gondrong-gondrong memasuki gedung tersebut barulah saya mulai menoleh,
sampai sepenting apa kok orang-orang gondrong masuk ke gedung tersebut. Jangan nanya dulu, karena memang di
depan gedung tersebut tidak ada tulisan publikasi macam-macam. Apalagi baliho
atau woro-woro seperti jaman sekarang. Ketika masuk ke gedung, saya secara
tidak sengaja bertemu dengan Semsar yang membagikan selebaran. Isinya, besok
dia mau melukis live.
Paginya saya sudah
nunggu apa itu melukis live, di depan GPD. Tiba-tiba Semsar keluar cuma pakai
kancut warna putih, terus rambutnya riap-riapan dibiarkan terurai. Ada lembaran
kain kanvas digelar sepanjang 10 meter di depan gedung tersebut. di ujung kain,
ada puluhan tong – yang belakangan saya baru tahu isinya cat – dan sepeda motor
trail. Tiba-tiba ia mencelupkan rambutnya ke tong tersebut, mengguyurkan
sebagian dari cat dengan warna lain, dan gulung-gulung di kanvas panjang itu.
Selanjutnya, dia nyetater trail, mak wrengggggg..nyengklak dan sepeda motor
trail itu membuat kanvas jadi morak marik. Untungnya, saya tidak ngajak bapak.
Bisa bisa beliau bilang : wong gendheng mbok tonton..
Kain kanvas sudah full
cat. Coretan yang gak jelas, tetapi di mata saya membentuk konfigurasi
estetika. Warna yang pating tumpuk, bentuk yang saling bertabrakan antara roda
sepeda motor dan pola yang dibuat oleh olah tubuhnya di atas kanvas. Tetapi
yang paling akhir ini super spektakuler. Semsar dan beberapa temannya membawa
lukisan yang dipajang di dalam gedung tersebut keluar, dan ditumpuk begitu
saja, lalu dibakar. Setelah itu, ia membentangkan kain yang bertuliskan :
Matinya seni rupa Indonesia !
Saya nggak mudeng blas.
Gimana nggak, anak SMP celana pendek biru. Belajar menggambar di sekolah pake
pastel dan cat air yang selalu tabrakan warnanya. Menarik garis juga tidak
pernah bisa lurus, kok nonton seni rupa. Tetapi pelan-pelan saya mengerti bahwa
disamping seni tari (saya belajar menari sejak SD), ada bidang kesenian lain
yang atraktif yaitu melukis. Tetapi fokusnya bukan ke aktivitasnya, lebih ke
melihat apa yang mereka hasilkan, yaitu lukisannya.
Kebiasaan itu semakin
meningkat frekwensinya ketika tinggal di Solo. Ada Taman Budaya Surakarta (TBS)
yang hampir dua bulan sekali melakukan aktivitas pameran lukisan. Kali ini
motivasinya agak lain. Kalau pas pembukaan pameran pasti banyak makanan.
Berkumpullah banyak seniman papan atas Solo waktu itu. Berbaur sama mereka ini
biar ada bau-bau sok seniman nya gitulah..Kalau nonton pameran karena
ruangannya dingin, ber AC. Biasanya setelah dua tiga kali putaran sama ndlosor
di ujung nyender tembok.
Pindah ke Jakarta. Semakin
banyak venue yang bisa didatangi. Ada TIM, Bentara Budaya, Galeri Antara,
Galeri Edwin, Galeri Nasional banyak pokoknya. Saya bisa seharian ngiterin
pameran kalau pas nganggur, dan kebetulan waktu itu banyak nganggurnya. Sesekali
ketemu sama seniman top yang juga lagi lingak-linguk. Ketemu juga akhirnya sama
Semsar Siahaan, pelukis dan aktivis yang kakinya invalid dipopor tentara ketika
mereka masuk TIM (tahun berapa itu ya ?).
Saya tidak punya
pretensi untuk tahu semua. Nonton ya nonton saja, menikmati garis warna,
gradasi, kontur, perbedaan ekspresi muka dalam satu kanvas. Banyak yang nggak
dong juga. Tetapi biar tetap sok eksis saya kadang-kadang munyer-munyeri
kepala, megang dagu sok mikir padahal ya nggak ngerti juga. Tetapi cobalah
amati misalnya lukisan Raden Saleh tentang Penangkapan Diponegoro. Mahakarya ini
masih bisa disaksikan di Galeri Nasional. Lihat bagaimana Raden Saleh mampu
mengungkapkan secara detail ekspresi dari masing-masing karakter dalam lukisan
tersebut. Ada yang duduk di bawah Pangeran Diponegoro dengan eksprsei masygul,
sedih dan satu tokoh yang terkesan nyokorke (apa bahasa Indonesianya ya ).
Lihat muka Diponegoro. Frontal
ke depan ke sang penangkap. Ekspresi yang berbeda-beda juga digambarkan oleh
para tentara Belanda. Detailnya sang maestro Raden Saleh. Atau di venue yang
sama, ada lukisan Diego Rivera berjudul Gadis Melayu dengan Bunga. Perhatikan raut
muka dan detail rambutnya. Si pelukis mencoba menterjemahkan gadis melayu
dengan referensi gestural non Asia. Buat saya malah menjadi sesuatu yang
menarik.
Buat saya nonton pameran
lukisan adalah katarsis. Upaya membebaskan diri dari rutinitas visual yang
itu-itu saja. Televisi, bioskop, ragam visual di gadget. Soal mengerti atau
tidak ya bisa nomer kesekian.
Gitu saja ya…