Kamis, 25 Agustus 2016

NONTON PAMERAN LUKISAN..


Kebiasaan nonton pameran lukisan ini saya mulai sejak SMP. Ini gara-gara almarhum Semsar Siahaan mampir ke Salatiga. Awalnya ia memamerkan lukisannya di GPD (Gedung Pertemuan Daerah) Kotamadya Salatiga. Awalnya, saya nggak begitu tertarik. Ketika ada rombongan orang gondrong-gondrong memasuki gedung tersebut barulah saya mulai menoleh, sampai sepenting apa kok orang-orang gondrong masuk ke gedung tersebut.  Jangan nanya dulu, karena memang di depan gedung tersebut tidak ada tulisan publikasi macam-macam. Apalagi baliho atau woro-woro seperti jaman sekarang. Ketika masuk ke gedung, saya secara tidak sengaja bertemu dengan Semsar yang membagikan selebaran. Isinya, besok dia mau melukis live.

Paginya saya sudah nunggu apa itu melukis live, di depan GPD. Tiba-tiba Semsar keluar cuma pakai kancut warna putih, terus rambutnya riap-riapan dibiarkan terurai. Ada lembaran kain kanvas digelar sepanjang 10 meter di depan gedung tersebut. di ujung kain, ada puluhan tong – yang belakangan saya baru tahu isinya cat – dan sepeda motor trail. Tiba-tiba ia mencelupkan rambutnya ke tong tersebut, mengguyurkan sebagian dari cat dengan warna lain, dan gulung-gulung di kanvas panjang itu. Selanjutnya, dia nyetater trail, mak wrengggggg..nyengklak dan sepeda motor trail itu membuat kanvas jadi morak marik. Untungnya, saya tidak ngajak bapak. Bisa bisa beliau bilang : wong gendheng mbok tonton..

Kain kanvas sudah full cat. Coretan yang gak jelas, tetapi di mata saya membentuk konfigurasi estetika. Warna yang pating tumpuk, bentuk yang saling bertabrakan antara roda sepeda motor dan pola yang dibuat oleh olah tubuhnya di atas kanvas. Tetapi yang paling akhir ini super spektakuler. Semsar dan beberapa temannya membawa lukisan yang dipajang di dalam gedung tersebut keluar, dan ditumpuk begitu saja, lalu dibakar. Setelah itu, ia membentangkan kain yang bertuliskan : Matinya seni rupa Indonesia !

Saya nggak mudeng blas. Gimana nggak, anak SMP celana pendek biru. Belajar menggambar di sekolah pake pastel dan cat air yang selalu tabrakan warnanya. Menarik garis juga tidak pernah bisa lurus, kok nonton seni rupa. Tetapi pelan-pelan saya mengerti bahwa disamping seni tari (saya belajar menari sejak SD), ada bidang kesenian lain yang atraktif yaitu melukis. Tetapi fokusnya bukan ke aktivitasnya, lebih ke melihat apa yang mereka hasilkan, yaitu lukisannya.

Kebiasaan itu semakin meningkat frekwensinya ketika tinggal di Solo. Ada Taman Budaya Surakarta (TBS) yang hampir dua bulan sekali melakukan aktivitas pameran lukisan. Kali ini motivasinya agak lain. Kalau pas pembukaan pameran pasti banyak makanan. Berkumpullah banyak seniman papan atas Solo waktu itu. Berbaur sama mereka ini biar ada bau-bau sok seniman nya gitulah..Kalau nonton pameran karena ruangannya dingin, ber AC. Biasanya setelah dua tiga kali putaran sama ndlosor di ujung nyender tembok.

Pindah ke Jakarta. Semakin banyak venue yang bisa didatangi. Ada TIM, Bentara Budaya, Galeri Antara, Galeri Edwin, Galeri Nasional banyak pokoknya. Saya bisa seharian ngiterin pameran kalau pas nganggur, dan kebetulan waktu itu banyak nganggurnya. Sesekali ketemu sama seniman top yang juga lagi lingak-linguk. Ketemu juga akhirnya sama Semsar Siahaan, pelukis dan aktivis yang kakinya invalid dipopor tentara ketika mereka masuk TIM (tahun berapa itu ya ?).

Saya tidak punya pretensi untuk tahu semua. Nonton ya nonton saja, menikmati garis warna, gradasi, kontur, perbedaan ekspresi muka dalam satu kanvas. Banyak yang nggak dong juga. Tetapi biar tetap sok eksis saya kadang-kadang munyer-munyeri kepala, megang dagu sok mikir padahal ya nggak ngerti juga. Tetapi cobalah amati misalnya lukisan Raden Saleh tentang Penangkapan Diponegoro. Mahakarya ini masih bisa disaksikan di Galeri Nasional. Lihat bagaimana Raden Saleh mampu mengungkapkan secara detail ekspresi dari masing-masing karakter dalam lukisan tersebut. Ada yang duduk di bawah Pangeran Diponegoro dengan eksprsei masygul, sedih dan satu tokoh yang terkesan nyokorke (apa bahasa Indonesianya ya ).

Lihat muka Diponegoro. Frontal ke depan ke sang penangkap. Ekspresi yang berbeda-beda juga digambarkan oleh para tentara Belanda. Detailnya sang maestro Raden Saleh. Atau di venue yang sama, ada lukisan Diego Rivera berjudul Gadis Melayu dengan Bunga. Perhatikan raut muka dan detail rambutnya. Si pelukis mencoba menterjemahkan gadis melayu dengan referensi gestural non Asia. Buat saya malah menjadi sesuatu yang menarik.

Buat saya nonton pameran lukisan adalah katarsis. Upaya membebaskan diri dari rutinitas visual yang itu-itu saja. Televisi, bioskop, ragam visual di gadget. Soal mengerti atau tidak ya bisa nomer kesekian.

Gitu saja ya…