Rabu, 03 Agustus 2016

GUNAWAN RAHARJA: SURAT BUAT TINO SAROENGALLO (Tinjauan Tentang Film...

GUNAWAN RAHARJA: SURAT BUAT TINO SAROENGALLO (Tinjauan Tentang Film...: Sub judul itu biar serius, kayak skripsi gitulah. Nggak jauh-jauh mikir disertasi atau tesis kaya Aryo Danusiri yang kul...

SURAT BUAT TINO SAROENGALLO (Tinjauan Tentang Film Pantja Sila Cita-Cita dan Realita)


Sub judul itu biar serius, kayak skripsi gitulah. Nggak jauh-jauh mikir disertasi atau tesis kaya Aryo Danusiri yang kuliahnya sampai Harvard.

Oke. Saya sengaja jalan awal tadi pagi. Biar nggak telat, dan bisa ngobrol dulu dengan siapa saja yang datang. Tetapi ternyata terlalu awal. Hanya ada Bedhul, mbak Nina, mbak Anna Melani (Ih mbak Anna tadi saya senyumin lho. Kayaknya lupa mbak Anna sama saya), mang Icang dan beberapa adik-adik seragam. Mbak-mbak twenty one pada belum datang. Tetapi tidak lama kemudian datang mas Noorca, Erica Jakarta Post, terus dua wartawan tua yang lupa namanya.

Saya awalnya nggak nyangka kalo venuenya serius. Makanya saya cuma pake sepatu sandal sama jaket penahan hawa dingin. Epicentrum itu sedingin Salatiga tahun 80-an. Makanya saya siap-siap. Tetapi setelah melihat mas Noorca, terus makin siangan ada wartawan-wartawan yang sepuh-sepuh, termasuk Pak Atmakusuma, Om Herman Lantang, Mega Simarmata, dan lain-lain yakinlah bahwa ini forum yang serius. Dan seperti biasa, saya sudah siap-siap mlipir. Besok nonton di bioskop saja. Tetapi rencana itu gagal total setelah mbak Anita nenteng fish and chip alias gorengan kentang sama tepung. Komat kamit khusyu sambil senyam senyum kalau ada yang kenal.

Lampu redup ketika saya masuk ke gedung. Asli sendirian. Begitu para tetamu sudah datang, mereka langsung menuju ke barisan kursi yang saya datangi. Nah, ini dia ! Sampai detik ini saya nggak mudeng kok para calon penonton yang mau masuk barisan saya ini nggak boleh ? Belakangan, mulai ada penonton sih yang jalan ke arah barisan saya. Tapi tua-tua, mulanya serius semua, dan nggak ada senyum blas di muka..

Ada MC anak muda yang pake topi ala om Pasikom.  Persiapannya lumayan matang. Bawa krepek’an di tangan. Tetapi tetep jedanya terlalu lama untuk ngomong satu kalimat ke kalimat yang lain. Nggak apa-apa, memang bukan komedian stand up komedi to ?

Satu hal. Ada ritual menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aktivitas ini sudah hampir tidak pernah saya lakukan. Dengat lagu kebangsaan ini sendirian saja saya selalu merinding, apalagi ini bersama-sama. Ini sudah bukan mrinding lagi, tapi nangis-nangis lah saya. Ternyata saya nggak sendirian. Ada dua tiga bapak-bapak yang ternyata nangis-nangis juga.

Mas Tio pasti handal lah. Nggak perlu ditulis panjang lebar. Diksinya pas, tarikan urat leher, cara menegakkan kepala, posisi tangan dengan jari yang selalu menunjuk ke depan, tangan kiri yang kadang-kadang bertolak pinggang. Saya yang dari kecil cuma bisa nonton Bung Karno dari foto njenggirat urat batin saya. Ya..nangis lagi. Mas Tio bukan aktor lagi di film itu. Kalau orang Jawa bilang, dia kemanjingan Bung Karno. Bung Karno hidup lagi. Bukan bermaksud membandingkan lho ya, tapi Mas Tio lebih plek memerankan Bung Karno daripada pak Kayam apalagi Ario Bayu. Subyektif sih tapi yo ben kan !

Saya cuma nunggu si “bung” ini bilang : My nationalism is humanity ! Nah…bener ! Saya dengar sepotong kalimat itu dari Radio Hiversum tahun 1982. Saya lupa dalam acara apa, tetapi kalimat itu hook buat saya. Masih terngiang-ngiang di gendang telinga dari tahun itu sampa delapan jam yang lalu.

Tiga perempat dari bagian film kemudian, si “bung” cerita soal sosio nasionalisme, gotong royong dan marhaenism. Bagian ini  lumayan lekat di otak karena dari semester satu saya masuk GMNI Komisariat FISIP UNS. Intinya bahagia betul saya karena nonton film ini. 

Ya, gitulah Mas TS..kelar nonton film ini saya tetap jadi Marhaen. Orang yang hanya punya alat kerja sendiri dan sekedar cukup untuk dirinya sendiri..

Bintaro...senja menjelang malam..