Produksi
di luar Jawa ? Berapa lama ? Lalu banyak pertanyaan lain yang intinya serba
menyenangkan. Suasana baru, pemandangan baru dan baru-baru lainnya. Habit kru
kalau tiba-tiba saja mendapatkan pekerjaan di luar Jawa pasti gegap gempita.
Intinya : happy..
Tetapi
nanti dulu. Mari kita deskripsikan satu-persatu persoalan yang akan muncul jika
kita shooting di luar Jawa. Bagaimana lokasinya, adat istiadatnya (lihat
tulisan saya sebelumnya soal langgar melanggar adat), makannya, penginapan,
transportasi dan sebagainya. Sebagian besar akan angkat bicara, toh ada orang
produksi ?
Kita
sudah terbiasa produksi di Jawa. Maka hampir ditiap kota kita mempunyai kontak
person local. Yang mampu menyediakan banyak hal, mulai dari penginapan, talent,
transportasi sampai tukang pijit. Mereka juga mengerti kebiasaan orang film
dari tingkatan buruh kaya saya sampai majikan film kelas berat. Dalam artian,
mereka mampu dalam waktu singkat dan cepat menyediakan apa yang kita minta.
Misalnya, malam ini jam 00.29 (bener ni,
saya menulis catatan ini jam segitu)
sutradara tiba-tiba dapat ide untuk mencari props tambahan kerbau warna biru.
Dan tentu saja ordernya adalah : gue
nggak mau tahu gimana caranya (harus pake gue lo ya. Kalau pake saya
kesannya kurang personal). Dalam waktu yang cepat order itu langsung turun
instruksi ke produser, diteruskan ke jajaran terkait. Misalnya kalau berkaitan
dengan departemen artistic yang langsung ke ketua grupnya. Ketua grup langsung
kontak ke kontak person local ini. Perintahnya tidak jauh beda juga.
Apa
yang terjadi kalau hal itu dilakukan di luar Jawa ? Inilah yang terjadi. Shooting PSA Sampoerna. Sutradara Garin Nugroho, Produser Tino Saroengalo, kameraman Monod
Nurhidayat. Adegannya berdasarkan storyboard ratusan kuda berlari di
savanna. Sampai satu hari menjelang shooting hanya tersedia puluhan kuda. Si sutradara tentu saja tidak bisa pake
lu lu gue gue wong medok Jawa. Tetapi intinya sama. “Pokoknya besok ada kuda banyak. Savana harus banyak kuda”.
Dan
malam itu Noel Radjapono, unit
menejer bersama kontak person local Ibnu
Abdullah ketemu seorang pedagang arab Sumba yang kabarnya kudanya ratusan.
Kenapa hanya kabar ? Ya karena tidak seorangpun yang tahu pasti jumlah kudanya
yang bertebaran di savanna. Serba singkat, si arab mengiyakan permintaan ini.
Paginya, ratusan kuda tersedia di savanna. Mungkin saja kuda siluman !
Ngomong
penginapan sekarang. Beberapa daerah saat ini sudah mempunyai hotel atau
penginapan yang proper. Memenuhi persyaratan itu artinya ada pelayanan makan
malam, laundry, kamar bersih, toilet oke, dan lain lainnya. Tetapi masih banyak
daerah yang tetap saja pelayanan hotelnya hampir tidak berubah, termasuk
orang-orangnya. Kami nginap di hotel yang lumayan ngetop di Atambua. Semua oke
kecuali pelayanan ! Saya sudah merasakan empuknya tempat tidur hotel ini sejak
2008, dan kenal dengan hampir semua awak hotel ini. Saking kenalnya , mereka
menganggap saya menjadi bagian dari mereka. Ini contohnya. Kalau saya pesan
kopi atau nasi goreng, mereka jawab dengan akrabnya : Silahkan bapa bikin
sendiri. Bahan-bahan di dapur lengkap !
Soal
transportasi. Kita terbiasa bangun dini hari dan berangkat menjelang subuh. Ini
oke untuk siapapun yang terbiasa pola produksi spartan ini di Jakarta atau
tempat yang terbiasa produksi. Di luar Jawa ? Ini pekerjaan rumah lagi. Sopir
mempunyai jam kerja. Seperti pegawai kantor begitulah. Jam delapan pagi sampai
jam delapan malam. Ketika kita butuh mereka untuk bangun menjelang dini hari,
masalah muncul.
Di
produksi Film Aisyah Biarkan Kami
Bersaudara, semua sopir dari Kupang dan Atambua. Jam kerja mereka jelas,
tetapi tidak dari dini hari. Ketika mereka harus bangun pada jam kerja yang
tidak umum, kening mengkerut. Inilah pintar-pintarnya kita untuk membuat mereka
bangun. Pertama, sopir diinapkan di tempat yang sama dengan kru. Dengan catatan
kalau ada cukup kamar di hotel yang bersangkutan. Kita tinggal pilih satu sopir
sebagai koordinator untuk menggedor pintu mereka, dan mengurus bon-bon bensin.
Kalau mereka harus menginap di luar hotel kru, harus ada orang dari produksi
yang rela menjadi tukang gedor. Cara ini berhasil.
Kedua,
kalau cara pertama dan kedua gagal maka relakanlah kita sebagai buruh film ini
sekaligus sebagai sopir. Yakni menyetir mobil masing-masing departemen ke
lokasi, lalu kita menyuruh salah satu sopir untuk menjemput mereka ke penginapan.
Agak repot diawal tetapi biasanya sukses. Hari berikutnya mereka akan bisa
bangun pagi setelah melihat system kerja yang mengharuskan bangun pagi ini.
Begitulah.Untuk
departemen produksi, cerita bisa makin berderet dan banyak. Tunggu saja..
Tabik..