Kamis, 04 Agustus 2016

GUNAWAN RAHARJA: SURAT BUAT TINO SAROENGALLO Eps. 3 (Belajar Menuli...

GUNAWAN RAHARJA: SURAT BUAT TINO SAROENGALLO Eps. 3 (Belajar Menuli...: Selamat pagi Mas TS.. Tiga bulan lalu (sebelum kita ketemu sore itu sebelum sampeyan ke Singapura), saya sempat curh...

SURAT BUAT TINO SAROENGALLO Eps. 3 (Belajar Menulis Buku)


Selamat pagi Mas TS..

Tiga bulan lalu (sebelum kita ketemu sore itu sebelum sampeyan ke Singapura), saya sempat curhat soal menulis buku. Saya katakana, bahan sudah terkumpul, catatan soal berbagai produksi dari kerja saya di film sejak tahun 1995 sudah ada. Beragam pula. Dari mulai disiksa mas Monod sampai pantat lecet, makan nasi bungkus sisa untuk riset Daun di Atas Bantal sampai cerita terakhir ketika saya berhasil mendatangkan filter lampu sampai di Atambua !

Baru belakangan saya ngerti, ada yang kurang yaitu foto. Saya tidak terlalu banyak mempunyai stok foto sutingan. Mungkin karena strata saya yang buruh, tidak memungkinkan banyak waktu untuk ceprat-cepret. Apalagi seperti jaman sekarang, masuk lokasi shooting belum ngecek apa-apa sudah pada saling potret-memotret.

Makanya sebulan belakangan ini saya mulai nyari kira-kira foto apa yang saya punya. Hasilnya nol besar alias nihil. Tidak satu lembar foto pun yang saya punya (buat yang generasi sekarang, jaman dulu foto disimpan dalam bentul lembaran ya. Bukan file atau data. File atau data jaman dulu hanya ada di kantor kalurahan. Biasanya data jumlah penduduk atau jumlah bayi lahir). Saya mencoba menghubungi pihak-pihak yang saya pikir punya stok foto jaman itu. SET nya mas Garin kantornya tutup. Si bapak sutradara itu sekarang lagi sibuk jadi koreografer, dan kabar terakhir masih di Darwin. Gemini Film juga sudah almarhum. Mbak Uning (masih ingat kan. Ibu manis berkacamata dengan senyum yang renyah itu) sudah jadi produser film dokumenter kondang plus bisnis makanan di Senayan City. Sementara kantornya yang legendaris itu akan dijual beserta asset-asetnya. Termasuk foto yang ada sayanya ya..

Nglokro saya. Padahal kalau saja dari tahun itu saya rajin motret mungkin hidup saya akan punya jejak visual. Atau, saya punya sekian ribu foto-foto yang lumayan komplit lah. Dari tahun 95, saya barengan sutradara film dokumenter top Tony Trimarsanto sudah blusukan nyari anak Girli buat materi film Dongeng Kancil. Habis itu kita sempat jalan mblasak sampai Sumba dan lain-lainnya. Masih berlanjut soal blasak memblasak sampai tahun kemarin.

Padahal saya sempat serius belajat memotret. Tahun 1998, saya datangi rumah fotografer kondang Erik Prasetya di Kompleks PWI Cipinang ( eh, bener nggak ya mbak….). Saya membawa kamera Nikon FM 2 boleh minjem Yudi Datau (dengan catatan yang berderet-deret tiga halaman. Nggak boleh ini nggak boleh itu). Sampai di sana mas Erik langsung bilang : ini kameranya Yudi udah nggak bisa dipake buat belajar Gun..pake punya gua aja ! Sampai detik ini saya nggak berani ngomong Yudi soal kamera yang katanya nggak bisa dipake buat belajar itu.

Dan selama dua minggu saya rutin datang. Belajar diafragma, shutter speed, lensa, banyak lah. Plus bonus majalah Foto Media. Saya disuruh baca hampir semua koleksi majalah dan buku-bukunya. Enaknya lagi, saya masih dapat film gratis, nyetak gratis. Ini pola belajar model ISIS. Datang modal baju di badan sama doa, pulang pinter bikin bom..

Dan tetap gagal. Tahun itu terlalu banyak peristiwa penting. Paruh waktu 1998 sampai 2000 saya memang nenteng kamera pinjaman kesana kemari. Tapi ya nggak dipake. Saya sempat sampeyan ajak kerja buat ARD TV Jerman itu. Terus lanjut ke MBC nya BBC. Bablas lagi jadi tukang delivery kaset video dari Hotel Mandarin ke lokasi demo/kerusuhan  pulang balik. Hasilnya, film utuh nggak ada isinya. Tapi duit banyak..

Barusan saya mikir kalau buku itu jadi, nggak usah pake foto tapi ilustrasi seperti storyboard gitu. Atau komik ?

Ok mas TS..saya lanjutkan hidup saya pagi ini. Ada secangkir kopi pahit sendirian, dan sepotong cinta menunggu ku di ujung sana…