Saya ngrapel nulis. Atambua yang fakir sinyal dan koneksi internet membuat tulisan tersimpan di laptop. Belakangan saya tahu kalau hotel sebelah ternyata koneksinya sekenceng Rossi.Saya yang keasyikan nonton monitor dan masak lupa motret. Alhasil tulisan ini tanpa bukti visual. Tapi percayalah ini bukan hoax..
ok..
Terminal baru
Atambua. Hari-hari biasa tempat ini sesepi kuburan. Padahal bangunan masih baru
dan megah. Sehari di tempat ini hanya ada dua tiga bis yang masuk. Memutar di
dalam terminal dan cabut lagi. Di belakang terminal bis dibangun pasar baru.
Sepi juga.
Inilah lagi lagi
tipikal pola pembangunan sporadis pola Orde Baru. Terminal dan pasar lama di
ruislag diganti tempat baru ini. Terminal dan pasar baru jauh dari jalanan umum
sehingga masyarakat juga malas kalau harus bepergian dan belanja dari tempat
ini.
Aisyah berdiri
termangu di terminal ini. Kota yang asing dan membingungkan buatnya. Pertama
kali ke luar Jawa dan tiba-tiba saja berada di tempat ini. Perempuan muda ini
menatap orang yang lalu lalang, sambil sesekali melihat apakah ada bis yang
masuk terminal ini atau tidak.
Inilah hari pertama
shooting film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara. Laudya Cynthia Bella berbaju
biru, dengan kerudung merah muda, dengan dua tas besar di punggung dan di
tangannya. Beberapa kali ia mengusap muka dengan punggung tangannya karena
keringat. Make up artist tidak perlu menyemprotkan air untuk efek keringat,
karena memang dia sudah keringatan.
Herwin Novianto, si
sutradara, duduk anteng dengan monitor 17 inch di depannya. Sesekali ia
bicara dengan asistennya dan mendatangi Edi Mikael Santosa, kameraman yang
duduk di atas dolly. Lalu ia mendatangi Bella untuk berdialog tentang adegan
yang diinginkannya, senyum-senyum ke extras, lalu duduk lagi.
Adegan dengan
bloking yang rumit. Sementara Aisyah menunggu bersandar ke tembok, sebuah bis
datang dari arah belakangnya. Kamera track ke samping kiri untuk mengikuti arah
jalan bis. Posisi kamera berhenti tepat ketika Aisyah menengok ke bis tersebut,
lalu meminta tolong kernet untuk
membawanya ke atas bis.
Fey Hero 1st
AD berteriak lewat dua HT nya dan megaphone menyuruh extras menuruti
instruksinya. Ini dia ! Mereka adalah penduduk asli Atambua yang tidak terbiasa
dengan situasi ini. Apa yang disuruh belum tentu sama persis dilakukannya.
Tetapi seiring waktu latihan, lama-lama mereka terbiasa dan membentuk adegan
yang unik. Penduduk dengan bahasa tubuh yang berbeda dengan apa yang biasa kita
lihat dalam film Indonesia.
Terjadi sedikit
kecelakaan. Bis dan angkot yang menjadi property film ini tiba-tiba menghilang.
Tanpa pemberitahuan mereka ternyata pulang. Karena upah mereka pagi itu sudah
dibayar. Ini masalah komunikasi saja. Departemen Artistik dan Produksi harus
saling mencek agar hal kecil seperti ini tidak lagi terjadi.
Hari pertama
shooting selalu ada persoalan. Wajar saja karena tim yang belum menyatu, atau
beberapa hal kecil yang kadang-kadang terlupakan. Bisa dari genset yang belum
ada solar atau pemain yang lupa untuk di calling. Tetapi dari kejadian di hari
pertama, semua elemen produksi justru menjadi lebih waspada. Selalu berjaga dan
kompak untuk saling mengingatkan, sehingga tidak lagi terjadi persoalan
lanjutannya.
Dalam produksi,
system kerja menjadi hal yang paling penting. Saya selalu ingat kata-kata guru
produksi saya, Tino Saroengalo yang mengatakan bahwa : “Produksi yang sempurna
itu tidak ada. Kesempurnaan bisa dilihat ketika setiap departemen saling
menutupi. Mengalir saja”. Kata-kata bijak itu selalu saya ingat sampai
kapanpun.
Dan pelajaran
shooting di daerah – manapun di penjuru Indonesia – selalu untuk mencek dengan
mata kepala sendiri. Jangan pinjam mata dan kepala orang lain ! Apa yang kita
minta jauh-jauh hari, dengan catatan yang super detail, bisa jadi tidak terjadi
ketika hari H. Cek, lihat, raba. Kita yakin betul kalau apa yang kita order kalau
memang kita sudah lihat bendanya.
Hari pertama adalah
masa coba-coba. Ibarat saling kenalan, jabat tangan dan mencoba untuk saling
berkomunikasi. Hari kedua dan selanjutnya tidak boleh lagi ada apa-apa !