Minggu, 08 November 2015

Film AISYAH BIARKAN KAMI BERSAUDARA : HARI PERTAMA SAAT COBA-COBA..


Saya ngrapel nulis. Atambua yang fakir sinyal dan koneksi internet membuat tulisan tersimpan di laptop. Belakangan saya tahu kalau hotel sebelah ternyata koneksinya sekenceng Rossi.Saya yang keasyikan nonton monitor dan masak lupa motret. Alhasil tulisan ini tanpa bukti visual. Tapi percayalah ini bukan hoax..
ok..
Terminal baru Atambua. Hari-hari biasa tempat ini sesepi kuburan. Padahal bangunan masih baru dan megah. Sehari di tempat ini hanya ada dua tiga bis yang masuk. Memutar di dalam terminal dan cabut lagi. Di belakang terminal bis dibangun pasar baru. Sepi juga.
Inilah lagi lagi tipikal pola pembangunan sporadis pola Orde Baru. Terminal dan pasar lama di ruislag diganti tempat baru ini. Terminal dan pasar baru jauh dari jalanan umum sehingga masyarakat juga malas kalau harus bepergian dan belanja dari tempat ini.
Aisyah berdiri termangu di terminal ini. Kota yang asing dan membingungkan buatnya. Pertama kali ke luar Jawa dan tiba-tiba saja berada di tempat ini. Perempuan muda ini menatap orang yang lalu lalang, sambil sesekali melihat apakah ada bis yang masuk terminal ini atau tidak.
Inilah hari pertama shooting film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara. Laudya Cynthia Bella berbaju biru, dengan kerudung merah muda, dengan dua tas besar di punggung dan di tangannya. Beberapa kali ia mengusap muka dengan punggung tangannya karena keringat. Make up artist tidak perlu menyemprotkan air untuk efek keringat, karena memang dia sudah keringatan.
Herwin Novianto, si sutradara, duduk anteng dengan monitor 17 inch di depannya. Sesekali ia bicara dengan asistennya dan mendatangi Edi Mikael Santosa, kameraman yang duduk di atas dolly. Lalu ia mendatangi Bella untuk berdialog tentang adegan yang diinginkannya, senyum-senyum ke extras, lalu duduk lagi.
Adegan dengan bloking yang rumit. Sementara Aisyah menunggu bersandar ke tembok, sebuah bis datang dari arah belakangnya. Kamera track ke samping kiri untuk mengikuti arah jalan bis. Posisi kamera berhenti tepat ketika Aisyah menengok ke bis tersebut, lalu meminta tolong kernet  untuk membawanya ke atas bis.
Fey Hero 1st AD berteriak lewat dua HT nya dan megaphone menyuruh extras menuruti instruksinya. Ini dia ! Mereka adalah penduduk asli Atambua yang tidak terbiasa dengan situasi ini. Apa yang disuruh belum tentu sama persis dilakukannya. Tetapi seiring waktu latihan, lama-lama mereka terbiasa dan membentuk adegan yang unik. Penduduk dengan bahasa tubuh yang berbeda dengan apa yang biasa kita lihat dalam film Indonesia.
Terjadi sedikit kecelakaan. Bis dan angkot yang menjadi property film ini tiba-tiba menghilang. Tanpa pemberitahuan mereka ternyata pulang. Karena upah mereka pagi itu sudah dibayar. Ini masalah komunikasi saja. Departemen Artistik dan Produksi harus saling mencek agar hal kecil seperti ini tidak lagi terjadi.
Hari pertama shooting selalu ada persoalan. Wajar saja karena tim yang belum menyatu, atau beberapa hal kecil yang kadang-kadang terlupakan. Bisa dari genset yang belum ada solar atau pemain yang lupa untuk di calling. Tetapi dari kejadian di hari pertama, semua elemen produksi justru menjadi lebih waspada. Selalu berjaga dan kompak untuk saling mengingatkan, sehingga tidak lagi terjadi persoalan lanjutannya.
Dalam produksi, system kerja menjadi hal yang paling penting. Saya selalu ingat kata-kata guru produksi saya, Tino Saroengalo yang mengatakan bahwa : “Produksi yang sempurna itu tidak ada. Kesempurnaan bisa dilihat ketika setiap departemen saling menutupi. Mengalir saja”. Kata-kata bijak itu selalu saya ingat sampai kapanpun.
Dan pelajaran shooting di daerah – manapun di penjuru Indonesia – selalu untuk mencek dengan mata kepala sendiri. Jangan pinjam mata dan kepala orang lain ! Apa yang kita minta jauh-jauh hari, dengan catatan yang super detail, bisa jadi tidak terjadi ketika hari H. Cek, lihat, raba. Kita yakin betul kalau apa yang kita order kalau memang kita sudah lihat bendanya.
Hari pertama adalah masa coba-coba. Ibarat saling kenalan, jabat tangan dan mencoba untuk saling berkomunikasi. Hari kedua dan selanjutnya tidak boleh lagi ada apa-apa !

Film AISYAH BIARKAN KAMI BERSAUDARA : SELAMAT DATANG SAUDARAKU..


“Selamat datang saudara ku dari Jakarta. Kami warga kampung Derok  melihat bapak ibu sebagai saudara baru, bukan artis atau tamu” Itulah sambutan hangat dari warga Kampung Derok, sebuah dusun terpencil nir aliran listrik yang terletak kurang lebih dua puluh lima kilometer sebelah selatan kota Atambua

Tahun ini adalah musim kering terpanjang di kampung ini. Ibu Dusun yang menceritakan dengan muka tetap berseri.”Saya berdoa supaya jangan hujan dulu biar tetap bisa shooting. Nahhh setelah shooting semoga Tuhan kasih hujan derasss”. Mereka butuh hujan yang sudah tidak membasahi kampung mereka lebih dari sepuluh bulan. Tetapi demi shooting ini, mereka rela untuk menunda keinginan melihat rintik hujan membasahi tanah kampungnya.
Buat saya, ini bukan kejadian yang pertama. Beberapa cerita yang hampir sama pernah saya alami. Di Sumba, Merauke dan beberapa daerah lain. Kerelaan penduduk setempat untuk menunda kebahagiaan mereka agar sekelompok pekerja kreatif (?) dapat terus menuntaskan eksploatasi estetika mereka.
Kadang-kadang ngenes juga saya ini. Rasa-rasanya kami ini sok menangnya sendiri gitu. Sampai-sampai minta didoakan supaya tidak hujan dulu biar shooting tetap jalan. Egois nggak sih ?
Eh ternyata tidak. Penduduk Derok bangga setengah mati ketika mereka tahu bahwa lokasi film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara berada di kampung mereka.”Bupati belum pernah ke sini bapa. Tetapi entah darimana bapak tahu kampung kami ini” Nah, inilah hebatnya orang film. Blusak blusuk ketemu lokasi yang istimewa.
Dusun ini sejam dari jalan umum yang menghubungkan Atambua dan Motaain. Masuk ke jalanan kampung berlubang, dan harus melewati sungai kering sepanjang tiga puluh meter. Kalau air naik bye bye lah kita ini. Untung musim kering panjang. Selama hayat dikandung badan penduduk desa, para tetua adat dan (mungkin) cucu cicit, kampung ini jauh dari gebyar lampu. Ada lampu menyala karena solar cell bantuan dari pemerintah Belgia. Kampungnya  Eden Hazard dan Fellaini yang pemain bola itu, membuat Derok sedikit bercahaya di malam hari.
Ini menariknya pola produksi film. Dusun ini hampir tidak ada toilet yang memadai. Dan tentu saja kami yang hampir sekampung tidak mungkin memakai toilet milik penduduk. Dan musim kemarau panjang tidak hanya menyengsarakan penduduk dusun ini, tetapi kami juga merasakannya juga. Air penting buat minum, sholat, cuci muka. Dan di Derok, air bersih yang layak dipakai untuk berbagai keperluan itu bisa didapat dari sungai kering yang harus digali lagi. Jarak dari dusun ini hampir dua kilo. Departemen produksi memutuskan untuk membangun toilet dan tandon air, yang nantinya akan disumbangkan kepada penduduk desa ini.

Siang itu panas terik di ubun-ubun kepala. Rombongan kru film datang berendengan masuk ke kampung. Ada penari Likurai dan Tebe yang sudah ada di depan kami. Plek ketiplek pejabat Orde Baru lah kami ini. Ada sambutan dari kepala desa setempat, pengalungan kain sebagai tanda cinta dan kapur sirih tentu saja.
Setiap daerah mempunyai tatanan sendiri-sendiri. Derok pun mempunyai adat istiadat yang mirip dengan daerah NTT lain. Upacara sembelih ayam, minum tuak (di sini namanya Sopi) dan makan bersama. Enak dan nyaman saja. Lalu kami bicara panjang lebar tentang film ini, dan banyak hal.
Laudya Cynthia Bella hebat dia. Bertahan dalam panas yang terik (saya saja kliyengan. Atau masalah umur ya ?), senyum-senyum terus sementara penduduk tiba-tiba saja menjadikan dirinya bukan publik figure. Mungkin karena tidak ada televisi mereka tidak melihat Bella sebagai sosok selebriti. Tetapi ini menguntungkan buat film ini. Penduduk bisa bergaul tanpa batas dengan dia, dan membuat Bella nyaman berada diantara mereka. Kenyamanan ini perlu karena ini bagian dari bagaimana membangun karakter (tokoh) yang nantinya ia mainkan.