Senin, 02 November 2015

AISYAH..BIARKAN KAMI BERSAUDARA : BIKIN FILM LAGI !


Saya selalu bergairah ketika bicara tentang produksi film. Film itulah yang membuat saya akhirnya keblasuk datang dan kerja serta menetap di Jakarta. Kalau orang Jawa bilang, semuanya tanpa direncanakan. Begitu saja.
Tahun 1994, ada produksi film Bulan Tertusuk Ilalang. Sebuah pertemuan dengan sutradara Garin Nugroho, Riri Riza yang waktu itu masih UPM (unit Production Manager), Monod Nurhidayat yang pas galak-galaknya, Pakde Roedjito almarhum yang pas bijak-bijaknya, dan maestro musik Suka Hardjana yang mood bermusiknya sedang menggelegak menyeret saya lebih jauh dan dekat ke dunia film. Bisa dibilang ini kemalangan atau keberuntungan. Malangnya, sekali bertemu langsung dengan manusia-manusia yang saat ini berada di teratag atas dunia audio visual saat ini. Tetapi itu sekaligus juga untungnya.
Setelah itu, beberapa kali saya terlibat produksi film. Tidak begitu banyak memang karena saya yang pemilih. Tidak mau terlibat produksi film kalau materi ceritanya tidak sreg. Ini buruh kok kemaki, batin saya. Tapi begitulah. Dunia film (cerita) tidak banyak menjanjikan materi yang berlebihan, tetapi kepuasan tiada tara. Pedoman saya kalau semua serba pas-pasan ya amsyong juga !
Tahun ini, saya membuat sebuah cerita. Awalnya sepele. Pas shooting film (iklan) sang produser yakni Hamdhani Koestoro tiba-tiba datang menghampiri. Dia bilang : Awakmu ada cerita nggak ? Yang ada hubungannya sama anak-anak. Saya ngawur jawab ada. Begitulah. Dalam waktu yang pendek saya ngetik di laptop. Setengah jam kemudian saya email cerita tersebut.
Jangan berpikir saya penulis hebat, bisa menulis cepat kilat. Cerita itu ada di benak saya dari tahun 2002. Diilhami perjalanan saya pertengahan tahun Sembilan puluhan ke Lamalera. Sebuah pertemuan yang mengesankan dengan tokoh guru asal Bantul bernama Noe yang mengajar di Lamalera. Daerah baru baginya, dengan tantangan alam, cultural dan agama.
Jadilah cerita. Pak Hamdhani Koestoro membeli cerita saya tersebut dan bersiaplah untuk produksi. Saya kembali berendengan dengan sutradara Herwin Novianto. Ini adalah pertemuan kreatif untuk ketiga kalinya di produksi film. Awalnya kami sama sama menggagas film JagadXCode, lalu Tanah Surga katanya dan sekarang film yang akhirnya berjudul Aisyah Biarkan Kami Bersaudara.
Kami kontak mas Jujur Prananto untuk menuliskan skenarionya. Dan pertengahan tahun ini saya, mas Jujur dan mas Herwin berangkat ke Atambua. Ya, daerah ini berkesan buat saya sejak produksi film Tanah Air Beta bersama Alinea Pictures. Awalnya, pak Hamdhani mau cerita ini diproduksi di Lamalera. Tetapi dengan pertimbangan produksi akhirnya Atambua jadi pilihan yang paling pas. Apalagi ada penerbangan dari Kupang ke Atambua. Praktis dan cepat.

Berkutat dengan cerita usai sudah, lalu siapa yang memerankan jadi Aisyah ? Mumet lah kami ini. Siapa artis perempuan yang berusia tidak lebih dari tiga puluh tahun, atau seumuran itu tetapi berpenampilan dua puluh limaan. Kami bikin list, dan akhirnya muncul nama Laudya Cynthia Bella. Saya empat kali nonton filmnya. Virgin, Lentera Merah, Di Bawah Lindungan Kabah dan Berbagi Suami. Saya suka filmnya yang pertama itu.
Oke..kami salaman. Bella datang sebagai ibu guru Aisyah yang cantik, cinta sama anak-anak dan toleran. Saya ketemu dengannya beberapa hari lalu. Ya..masih terlalu cantik tentu saja. Tetapi perkenalan sekilas membuat saya yakin bahwa dia mampu memainkan peran tersebut dibawah terik matahari Atambua yang sampai 40 derajat, berdebu dan susah air.
Saya akan cerita lebih banyak tentang film Asiyah Biarkan Kami Bersaudara besok hari….