Saya selalu bergairah
ketika bicara tentang produksi film. Film itulah yang membuat saya akhirnya
keblasuk datang dan kerja serta menetap di Jakarta. Kalau orang Jawa bilang,
semuanya tanpa direncanakan. Begitu saja.
Tahun 1994, ada produksi
film Bulan Tertusuk Ilalang. Sebuah pertemuan dengan sutradara Garin Nugroho,
Riri Riza yang waktu itu masih UPM (unit Production Manager), Monod Nurhidayat
yang pas galak-galaknya, Pakde Roedjito almarhum yang pas bijak-bijaknya, dan
maestro musik Suka Hardjana yang mood bermusiknya sedang menggelegak menyeret
saya lebih jauh dan dekat ke dunia film. Bisa dibilang ini kemalangan atau
keberuntungan. Malangnya, sekali bertemu langsung dengan manusia-manusia yang
saat ini berada di teratag atas dunia audio visual saat ini. Tetapi itu sekaligus
juga untungnya.
Setelah itu, beberapa kali
saya terlibat produksi film. Tidak begitu banyak memang karena saya yang
pemilih. Tidak mau terlibat produksi film kalau materi ceritanya tidak sreg.
Ini buruh kok kemaki, batin saya. Tapi begitulah. Dunia film (cerita) tidak
banyak menjanjikan materi yang berlebihan, tetapi kepuasan tiada tara. Pedoman
saya kalau semua serba pas-pasan ya amsyong juga !
Tahun ini, saya membuat
sebuah cerita. Awalnya sepele. Pas shooting film (iklan) sang produser yakni Hamdhani
Koestoro tiba-tiba datang menghampiri. Dia bilang : Awakmu ada cerita nggak ?
Yang ada hubungannya sama anak-anak. Saya ngawur jawab ada. Begitulah. Dalam
waktu yang pendek saya ngetik di laptop. Setengah jam kemudian saya email
cerita tersebut.
Jangan berpikir saya
penulis hebat, bisa menulis cepat kilat. Cerita itu ada di benak saya dari
tahun 2002. Diilhami perjalanan saya pertengahan tahun Sembilan puluhan ke
Lamalera. Sebuah pertemuan yang mengesankan dengan tokoh guru asal Bantul
bernama Noe yang mengajar di Lamalera. Daerah baru baginya, dengan tantangan
alam, cultural dan agama.
Jadilah cerita. Pak
Hamdhani Koestoro membeli cerita saya tersebut dan bersiaplah untuk produksi.
Saya kembali berendengan dengan sutradara Herwin Novianto. Ini adalah pertemuan
kreatif untuk ketiga kalinya di produksi film. Awalnya kami sama sama menggagas
film JagadXCode, lalu Tanah Surga katanya dan sekarang film yang akhirnya
berjudul Aisyah Biarkan Kami Bersaudara.
Kami kontak mas Jujur
Prananto untuk menuliskan skenarionya. Dan pertengahan tahun ini saya, mas
Jujur dan mas Herwin berangkat ke Atambua. Ya, daerah ini berkesan buat saya
sejak produksi film Tanah Air Beta bersama Alinea Pictures. Awalnya, pak
Hamdhani mau cerita ini diproduksi di Lamalera. Tetapi dengan pertimbangan
produksi akhirnya Atambua jadi pilihan yang paling pas. Apalagi ada penerbangan
dari Kupang ke Atambua. Praktis dan cepat.
Berkutat dengan cerita
usai sudah, lalu siapa yang memerankan jadi Aisyah ? Mumet lah kami ini. Siapa
artis perempuan yang berusia tidak lebih dari tiga puluh tahun, atau seumuran
itu tetapi berpenampilan dua puluh limaan. Kami bikin list, dan akhirnya muncul
nama Laudya Cynthia Bella. Saya empat kali nonton filmnya. Virgin, Lentera
Merah, Di Bawah Lindungan Kabah dan Berbagi Suami. Saya suka filmnya yang
pertama itu.
Oke..kami salaman. Bella
datang sebagai ibu guru Aisyah yang cantik, cinta sama anak-anak dan toleran.
Saya ketemu dengannya beberapa hari lalu. Ya..masih terlalu cantik tentu saja.
Tetapi perkenalan sekilas membuat saya yakin bahwa dia mampu memainkan peran
tersebut dibawah terik matahari Atambua yang sampai 40 derajat, berdebu dan
susah air.
Saya akan cerita lebih
banyak tentang film Asiyah Biarkan Kami Bersaudara besok hari….