Menyaksikan sebuah
pertunjukan – apapun – adalah proses transformasi nilai dan gagasan. Saya juga
mempercayainya sebagai bagian dari komunikasi yang menyampaikan sebuah pesan.
Tidak harus verbal dengan kalimat atau dialog yang mudah dimengerti, tetapi bisa
jadi gestur yang universal. Ini soal kesepakapatan saja. Misalnya ketika
puluhan tahun lalu kita menyaksikan Teater SAE nya Budi S. Otong, maka
pemahaman kata sebagai bahasan utama akan gugur seketika. Demikian juga ketika
kita menyaksikan Teater Garasi. Pemahaman teks gerak menjadi penting dan
dominan. Kata kuncinya adalah kesepakatan !
Menyaksikan pertunjukan
kolaborasi pasti menjanjikan sesuatu. Ada tabrakan yang bisa jadi friksi yang
tetap menarik dalam bingkai estetika, atau kecelakaan kreatif lainnya. Dan saya
menjadi saksi berbagai tabrakan budaya dan friksi dalam konteks pertunjukan ini
berkali-kali. Hasilnya adalah orgasme estetika. Pulang dengan rasa yang penuh,
dengan berkali-kali mencoba menafsirkan ulang betapa waskitanya sang pelaku
atau kreator yang bersangkutan.
Tetapi saya harus
kecewa ketika melihat pertunjukan Mahabharata Part 3 Kurusetra War yang
berlangsung Jumat lalu di Grha Bhakti Budaya TIM. Saya mulai berjarak ketika
ada sebuah layar putih terbentang di samping kiri panggung. Fungsinya cukup
jelas, bahwa layar putih itu pasti untuk terjemahan. Ketika saya membaca brosur
lebih detail, ternyata memang repertoar ini akan dimainkan oleh beberapa aktor
dari empat negara.
Buat saya epos
Mahabarata tidak sekedar lakon. Ia adalah representasi kehidupan peradaban itu
sendiri. Saya mengenal cerita ini seperti melihat telapak tangan sendiri. Ibu
saya memperkenalkan cerita ini dari umur tujuh tahun. Ada beberapa bagian yang
membuat saya tertawa, atau luruh sedih dan pedih. Tetapi inilah interpertasi
Mahabarata lintas budaya ini.
Buat saya, inilah
interpertasi dari sebuah lakon yang jatuhnya hanya potongan per episode yang
kehilangan makna dan cerita. Sementara penonton hanya dibawa menjelajahi
berbagai bagian penting dari lakon ini lewat penggalan-penggalan yang
diterjemahkan secara serampangan dalam sebuah layar putih. Butuh kesabaran
tingkat tinggi untuk mengerti dan memahami adegan per adegan yang harus
diinterupsi bacaan sub title itu.
Awalnya saya berpikir
bahwa ini adalah sebuah teater gerak. Karena ada Teater Garasi di dalam proyek
ini. Beberapa menit kemudian konsentrasi saya buyar karena tidak ada
konsistensi antara konfigurasi gerak tari dan sekedar “gerakan”. Saya memaksa
untuk membuka brosur lagi diantara keremangan lampu dan mata saya yang mulai
lamur. Baru tahu bahwa rata-rata dari para penampil adalah penari yang mumpuni.
Lalu, kesepakatan apa
yang telah dibangun dari kolaborasi ini ? Apakah sebuah pentas tari yang multi
gerak, ataukah sekedar penampilan dari komposisi gerak bersama yang acuannya
tidak jelas. Beberapa gerakan dari para penampil sama sekali tidak menunjukkan
bahwa mereka adalah penari. Lagi-lagi, saya gagal menangkap esensi dari total
pertunjukan ini. Beberapa komposisi gerak dipaksakan untuk sekedar menjaga
ritme dari adegan satu ke adegan berikutnya. Dan berkali-kali pola bloking
keluar masuk – dari kanan panggung ke kiri dan sebaliknya – sama sekali tidak
bicara apa-apa.
Hal tersebut ditambah
dengan musik yang buat saya kehilangan esensi. Bisa jadi saya yang gagap menangkap
kesan musik yang ingin ditampilkan. Tetapi jujur, sepanjang pertunjukan, saya
tidak menganggap bahwa musik itu ada. Kadang-kadang muncul dengan intensitas
yang berlebihan, misalnya volumenya meninggi, tetapi kadang-kadang lamat-lamat
yang hampir tidak kedengaran. Jadi sebenarnya musik perlu atau tidak dalam
konteks pertunjukan ini.
Saya tetap tidak
mengerti untuk apa bahasa yang dipakai berbeda-beda. Untuk sisi komunikasi buat
saya jelas gagal. Bagaimana kita bisa menikmati sebuah esensi pertunjukan jika
mata harus jelalatan ke tengah panggung dan melirik ke kiri sekedar untuk tahu
apa dialognya. Belum lagi, tokoh Bisma yang nyata-nyata memaksa untuk tetap
berdialog dengan bahasa Indonesia.
Kalau boleh dipuji,
hanya tata busana dan tata panggung yang menarik. Pemakaian materi lurik dengan
potongan pola Jepang tiba-tiba memberikan catatan bahwa inilah Mahabarata versi
Jepang. Mbak-mbak di belakang saya dari awal sudah criwis terus soal baju para
penampil. Saya yang mati-matian melotot mata dan pasang telinga untuk memahami
apa yang ada di panggung, harus terganggu dengan mbak-mbak yang terus menerus
komentar soal baju di atas panggung.
Tata panggung simpel
saja. Latarbelakang hitam, dengan penempatan baju penampil dan kapstoknya. Saya
kira ini juga cara untuk menghemat waktu pentas mengingat satu pemain bisa
memainkan dua sampai tiga karakter yang berbeda.
Apa mau dikata.
Kelebihan penonton dibandingkan kreator adalah kebebasan untuk berkomentar.
Sebagai tontonan, Mahabarata Part 3 Kurusetra War ini tidak menjanjikan
apa-apa. Tetapi, sutradara Hiroshi Koike berhasil menjadikan repertoar ini
sebagai etalase kolaboratif, meskipun berhenti hanya sebagai bentuk saja.
Foto : Joko Harismoyo