Minggu, 02 Oktober 2016

MAHABARATA VERSI JEPANG : SEBUAH PERTUNJUKAN YANG GAGAP



Menyaksikan sebuah pertunjukan – apapun – adalah proses transformasi nilai dan gagasan. Saya juga mempercayainya sebagai bagian dari komunikasi yang menyampaikan sebuah pesan. Tidak harus verbal dengan kalimat atau dialog yang mudah dimengerti, tetapi bisa jadi gestur yang universal. Ini soal kesepakapatan saja. Misalnya ketika puluhan tahun lalu kita menyaksikan Teater SAE nya Budi S. Otong, maka pemahaman kata sebagai bahasan utama akan gugur seketika. Demikian juga ketika kita menyaksikan Teater Garasi. Pemahaman teks gerak menjadi penting dan dominan. Kata kuncinya adalah kesepakatan !

Menyaksikan pertunjukan kolaborasi pasti menjanjikan sesuatu. Ada tabrakan yang bisa jadi friksi yang tetap menarik dalam bingkai estetika, atau kecelakaan kreatif lainnya. Dan saya menjadi saksi berbagai tabrakan budaya dan friksi dalam konteks pertunjukan ini berkali-kali. Hasilnya adalah orgasme estetika. Pulang dengan rasa yang penuh, dengan berkali-kali mencoba menafsirkan ulang betapa waskitanya sang pelaku atau kreator yang bersangkutan.

Tetapi saya harus kecewa ketika melihat pertunjukan Mahabharata Part 3 Kurusetra War yang berlangsung Jumat lalu di Grha Bhakti Budaya TIM. Saya mulai berjarak ketika ada sebuah layar putih terbentang di samping kiri panggung. Fungsinya cukup jelas, bahwa layar putih itu pasti untuk terjemahan. Ketika saya membaca brosur lebih detail, ternyata memang repertoar ini akan dimainkan oleh beberapa aktor dari empat negara.

Buat saya epos Mahabarata tidak sekedar lakon. Ia adalah representasi kehidupan peradaban itu sendiri. Saya mengenal cerita ini seperti melihat telapak tangan sendiri. Ibu saya memperkenalkan cerita ini dari umur tujuh tahun. Ada beberapa bagian yang membuat saya tertawa, atau luruh sedih dan pedih. Tetapi inilah interpertasi Mahabarata lintas budaya ini.

Buat saya, inilah interpertasi dari sebuah lakon yang jatuhnya hanya potongan per episode yang kehilangan makna dan cerita. Sementara penonton hanya dibawa menjelajahi berbagai bagian penting dari lakon ini lewat penggalan-penggalan yang diterjemahkan secara serampangan dalam sebuah layar putih. Butuh kesabaran tingkat tinggi untuk mengerti dan memahami adegan per adegan yang harus diinterupsi bacaan sub title itu.


Awalnya saya berpikir bahwa ini adalah sebuah teater gerak. Karena ada Teater Garasi di dalam proyek ini. Beberapa menit kemudian konsentrasi saya buyar karena tidak ada konsistensi antara konfigurasi gerak tari dan sekedar “gerakan”. Saya memaksa untuk membuka brosur lagi diantara keremangan lampu dan mata saya yang mulai lamur. Baru tahu bahwa rata-rata dari para penampil adalah penari yang mumpuni.

Lalu, kesepakatan apa yang telah dibangun dari kolaborasi ini ? Apakah sebuah pentas tari yang multi gerak, ataukah sekedar penampilan dari komposisi gerak bersama yang acuannya tidak jelas. Beberapa gerakan dari para penampil sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah penari. Lagi-lagi, saya gagal menangkap esensi dari total pertunjukan ini. Beberapa komposisi gerak dipaksakan untuk sekedar menjaga ritme dari adegan satu ke adegan berikutnya. Dan berkali-kali pola bloking keluar masuk – dari kanan panggung ke kiri dan sebaliknya – sama sekali tidak bicara apa-apa.

Hal tersebut ditambah dengan musik yang buat saya kehilangan esensi. Bisa jadi saya yang gagap menangkap kesan musik yang ingin ditampilkan. Tetapi jujur, sepanjang pertunjukan, saya tidak menganggap bahwa musik itu ada. Kadang-kadang muncul dengan intensitas yang berlebihan, misalnya volumenya meninggi, tetapi kadang-kadang lamat-lamat yang hampir tidak kedengaran. Jadi sebenarnya musik perlu atau tidak dalam konteks pertunjukan ini.

Saya tetap tidak mengerti untuk apa bahasa yang dipakai berbeda-beda. Untuk sisi komunikasi buat saya jelas gagal. Bagaimana kita bisa menikmati sebuah esensi pertunjukan jika mata harus jelalatan ke tengah panggung dan melirik ke kiri sekedar untuk tahu apa dialognya. Belum lagi, tokoh Bisma yang nyata-nyata memaksa untuk tetap berdialog dengan bahasa Indonesia.

Kalau boleh dipuji, hanya tata busana dan tata panggung yang menarik. Pemakaian materi lurik dengan potongan pola Jepang tiba-tiba memberikan catatan bahwa inilah Mahabarata versi Jepang. Mbak-mbak di belakang saya dari awal sudah criwis terus soal baju para penampil. Saya yang mati-matian melotot mata dan pasang telinga untuk memahami apa yang ada di panggung, harus terganggu dengan mbak-mbak yang terus menerus komentar soal baju di atas panggung.

Tata panggung simpel saja. Latarbelakang hitam, dengan penempatan baju penampil dan kapstoknya. Saya kira ini juga cara untuk menghemat waktu pentas mengingat satu pemain bisa memainkan dua sampai tiga karakter yang berbeda.

Apa mau dikata. Kelebihan penonton dibandingkan kreator adalah kebebasan untuk berkomentar. Sebagai tontonan, Mahabarata Part 3 Kurusetra War ini tidak menjanjikan apa-apa. Tetapi, sutradara Hiroshi Koike berhasil menjadikan repertoar ini sebagai etalase kolaboratif, meskipun berhenti hanya sebagai bentuk saja.

Foto : Joko Harismoyo