Novel Nick Carter terbit di
Amerika Serikat tahun 1964 oleh Awards Book. Settingnya banyak berlatar
belakang perang dingin antara AS dan Uni Soviet. Diceritakan Nick Carter adalah
agen AXE yang kerap terlibat asmara. Ada 261 judul petualangan Nick Carter yang
terbit dari tahun 1964-1990. Tapi tak jelas siapa pengarangnya.
Saya adalah salah satu orang yang
pernah hidup bersama Nick Carter. Dari novelnya saya mengenal kata-kata
menggelinjang, melenguh (koyo kebo ya ?)
dan istilah aneh-aneh lain yang konotasinya ke seks. Siapapun yang pernah
mengalami generasi keemasan tahun delapan puluhan pasti kenal pistol Luger
Wihelmina dan pisau tipis Hugo Stiletto. Sampai-sampai jaman SMP saya sampai
bikin sendiri pistol-pistolan dan pisau dari kayu dan tega-tegaan saya tulisi
Luger dan Hugo Stiletto.
Novel itu beredar dari kelas ke
kelas dari siswa ke siswa. Biasanya dari tangan pertama ke tangan terakhirnya –
bisa jadi tangan terakhir itu nomer ke duapuluh atau lebih – jumlah halamannya
sudah banyak berkurang. Kalaupun ada pasti lengket di sana-sini, yang jelas
bukan karena lem. Berkurangnya halaman itu karena banyak pembaca yang dengan
kreatif mengkoleksi halaman yang ada adegan syurnya. Disobek, lalu disambung
dengan halaman lain dari novel yang sama dengan cerita yang berbeda. Pasti saja
tidak ada ceritanya. Buka halaman itu langsung menggelinjanglah pokoknya !
Bagi para laki-laki tanggung
waktu itu, membaca Nick Carter itu kebanggaan. Apalagi kalau bisa menceritakan
berapa judul novel yang sudah dibaca. Dari tiga novel Nick Carter bisa menjadi
biang diskusi seru layaknya apresiasi satra kelas tinggi. Satu orang bisa
menganalisa tingkat kesaruannya, orang lain bisa menganalisa bagaimana Nick
Carter melumpuhkan musuh-musuhnya. Dan itu bisa jadi diskusi semalaman..
Tidak biasa bagi pembaca novel
ini membelinya di toko buku. Di kota tempat saya tinggal di Salatiga,
tahun-tahun itu hanya ada tiga persewaan buku yang secara rutin mengupdate
koleksi novel-novelnya. Dan bagi para fansnya, biasanya mereka main belakang
alias kongkalikong dengan mbak penjaga persewaan. Biasanya dengan main kedip
untuk “menyimpan” novel yang baru datang tersebut, untuk disewa duluan. Seperti
yang saya tulis di atas, makin ketinggalan kita menyewa novel itu, makin
berantakan isinya dan bubrah kertas-kertasnya !
Ada satu hal absurd yang kalau
saya pikir-pikir sekarang hal itu tidak masuk akal. Saya juga tidak tahu apakah
hal itu terjadi di kota selain Salatiga yang kecil mungil dan waktu itu cuma
satu kecamatan. Yakni, serombongan anak (laki-laki tentu saja), akan membaca
novel tersebut secara berurutan. Biasanya selama dua hari. Pada hari ketiga,
mereka akan mendiskusikan halaman berapa yang paling mengacengkan (mohon maaf, saya tidak ketemu kata-kata yang paling
tepat). Ketika sudah terjadi kesepakatan soal halaman, salah satu dari mereka
akan membacakan halaman tersebut. Nah, para pendengar biasanya akan menyimak
pembaca novel tersebut dengan sepenuh hati dan setakzim-takzimnya.
Masing-masing dari mereka akan
saling melirik selangkangan teman kiri dan kanannya. Untuk membuktikan apakah
halaman tersebut memang paling saru dibandingkan
halaman lainnya. Untungnya, kami semua masih bercelana. Biasanya ada satu dua
teman yang kemudian setengah berlari meninggalkan tempat tersebut.
Beli bakso !