Kamis, 06 Oktober 2016

NICK CARTER DAN EREKSI BERJAMAAH..



Novel Nick Carter terbit di Amerika Serikat tahun 1964 oleh Awards Book. Settingnya banyak berlatar belakang perang dingin antara AS dan Uni Soviet. Diceritakan Nick Carter adalah agen AXE yang kerap terlibat asmara. Ada 261 judul petualangan Nick Carter yang terbit dari tahun 1964-1990. Tapi tak jelas siapa pengarangnya.
Saya adalah salah satu orang yang pernah hidup bersama Nick Carter. Dari novelnya saya mengenal kata-kata menggelinjang, melenguh (koyo kebo ya ?) dan istilah aneh-aneh lain yang konotasinya ke seks. Siapapun yang pernah mengalami generasi keemasan tahun delapan puluhan pasti kenal pistol Luger Wihelmina dan pisau tipis Hugo Stiletto. Sampai-sampai jaman SMP saya sampai bikin sendiri pistol-pistolan dan pisau dari kayu dan tega-tegaan saya tulisi Luger dan Hugo Stiletto.
Novel itu beredar dari kelas ke kelas dari siswa ke siswa. Biasanya dari tangan pertama ke tangan terakhirnya – bisa jadi tangan terakhir itu nomer ke duapuluh atau lebih – jumlah halamannya sudah banyak berkurang. Kalaupun ada pasti lengket di sana-sini, yang jelas bukan karena lem. Berkurangnya halaman itu karena banyak pembaca yang dengan kreatif mengkoleksi halaman yang ada adegan syurnya. Disobek, lalu disambung dengan halaman lain dari novel yang sama dengan cerita yang berbeda. Pasti saja tidak ada ceritanya. Buka halaman itu langsung menggelinjanglah pokoknya !

Bagi para laki-laki tanggung waktu itu, membaca Nick Carter itu kebanggaan. Apalagi kalau bisa menceritakan berapa judul novel yang sudah dibaca. Dari tiga novel Nick Carter bisa menjadi biang diskusi seru layaknya apresiasi satra kelas tinggi. Satu orang bisa menganalisa tingkat kesaruannya, orang lain bisa menganalisa bagaimana Nick Carter melumpuhkan musuh-musuhnya. Dan itu bisa jadi diskusi semalaman..
Tidak biasa bagi pembaca novel ini membelinya di toko buku. Di kota tempat saya tinggal di Salatiga, tahun-tahun itu hanya ada tiga persewaan buku yang secara rutin mengupdate koleksi novel-novelnya. Dan bagi para fansnya, biasanya mereka main belakang alias kongkalikong dengan mbak penjaga persewaan. Biasanya dengan main kedip untuk “menyimpan” novel yang baru datang tersebut, untuk disewa duluan. Seperti yang saya tulis di atas, makin ketinggalan kita menyewa novel itu, makin berantakan isinya dan bubrah kertas-kertasnya !
Ada satu hal absurd yang kalau saya pikir-pikir sekarang hal itu tidak masuk akal. Saya juga tidak tahu apakah hal itu terjadi di kota selain Salatiga yang kecil mungil dan waktu itu cuma satu kecamatan. Yakni, serombongan anak (laki-laki tentu saja), akan membaca novel tersebut secara berurutan. Biasanya selama dua hari. Pada hari ketiga, mereka akan mendiskusikan halaman berapa yang paling mengacengkan (mohon maaf, saya tidak ketemu kata-kata yang paling tepat). Ketika sudah terjadi kesepakatan soal halaman, salah satu dari mereka akan membacakan halaman tersebut. Nah, para pendengar biasanya akan menyimak pembaca novel tersebut dengan sepenuh hati dan setakzim-takzimnya.
Masing-masing dari mereka akan saling melirik selangkangan teman kiri dan kanannya. Untuk membuktikan apakah halaman tersebut memang paling saru dibandingkan halaman lainnya. Untungnya, kami semua masih bercelana. Biasanya ada satu dua teman yang kemudian setengah berlari meninggalkan tempat tersebut.
Beli bakso !

Minggu, 02 Oktober 2016

MAHABARATA VERSI JEPANG : SEBUAH PERTUNJUKAN YANG GAGAP



Menyaksikan sebuah pertunjukan – apapun – adalah proses transformasi nilai dan gagasan. Saya juga mempercayainya sebagai bagian dari komunikasi yang menyampaikan sebuah pesan. Tidak harus verbal dengan kalimat atau dialog yang mudah dimengerti, tetapi bisa jadi gestur yang universal. Ini soal kesepakapatan saja. Misalnya ketika puluhan tahun lalu kita menyaksikan Teater SAE nya Budi S. Otong, maka pemahaman kata sebagai bahasan utama akan gugur seketika. Demikian juga ketika kita menyaksikan Teater Garasi. Pemahaman teks gerak menjadi penting dan dominan. Kata kuncinya adalah kesepakatan !

Menyaksikan pertunjukan kolaborasi pasti menjanjikan sesuatu. Ada tabrakan yang bisa jadi friksi yang tetap menarik dalam bingkai estetika, atau kecelakaan kreatif lainnya. Dan saya menjadi saksi berbagai tabrakan budaya dan friksi dalam konteks pertunjukan ini berkali-kali. Hasilnya adalah orgasme estetika. Pulang dengan rasa yang penuh, dengan berkali-kali mencoba menafsirkan ulang betapa waskitanya sang pelaku atau kreator yang bersangkutan.

Tetapi saya harus kecewa ketika melihat pertunjukan Mahabharata Part 3 Kurusetra War yang berlangsung Jumat lalu di Grha Bhakti Budaya TIM. Saya mulai berjarak ketika ada sebuah layar putih terbentang di samping kiri panggung. Fungsinya cukup jelas, bahwa layar putih itu pasti untuk terjemahan. Ketika saya membaca brosur lebih detail, ternyata memang repertoar ini akan dimainkan oleh beberapa aktor dari empat negara.

Buat saya epos Mahabarata tidak sekedar lakon. Ia adalah representasi kehidupan peradaban itu sendiri. Saya mengenal cerita ini seperti melihat telapak tangan sendiri. Ibu saya memperkenalkan cerita ini dari umur tujuh tahun. Ada beberapa bagian yang membuat saya tertawa, atau luruh sedih dan pedih. Tetapi inilah interpertasi Mahabarata lintas budaya ini.

Buat saya, inilah interpertasi dari sebuah lakon yang jatuhnya hanya potongan per episode yang kehilangan makna dan cerita. Sementara penonton hanya dibawa menjelajahi berbagai bagian penting dari lakon ini lewat penggalan-penggalan yang diterjemahkan secara serampangan dalam sebuah layar putih. Butuh kesabaran tingkat tinggi untuk mengerti dan memahami adegan per adegan yang harus diinterupsi bacaan sub title itu.


Awalnya saya berpikir bahwa ini adalah sebuah teater gerak. Karena ada Teater Garasi di dalam proyek ini. Beberapa menit kemudian konsentrasi saya buyar karena tidak ada konsistensi antara konfigurasi gerak tari dan sekedar “gerakan”. Saya memaksa untuk membuka brosur lagi diantara keremangan lampu dan mata saya yang mulai lamur. Baru tahu bahwa rata-rata dari para penampil adalah penari yang mumpuni.

Lalu, kesepakatan apa yang telah dibangun dari kolaborasi ini ? Apakah sebuah pentas tari yang multi gerak, ataukah sekedar penampilan dari komposisi gerak bersama yang acuannya tidak jelas. Beberapa gerakan dari para penampil sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah penari. Lagi-lagi, saya gagal menangkap esensi dari total pertunjukan ini. Beberapa komposisi gerak dipaksakan untuk sekedar menjaga ritme dari adegan satu ke adegan berikutnya. Dan berkali-kali pola bloking keluar masuk – dari kanan panggung ke kiri dan sebaliknya – sama sekali tidak bicara apa-apa.

Hal tersebut ditambah dengan musik yang buat saya kehilangan esensi. Bisa jadi saya yang gagap menangkap kesan musik yang ingin ditampilkan. Tetapi jujur, sepanjang pertunjukan, saya tidak menganggap bahwa musik itu ada. Kadang-kadang muncul dengan intensitas yang berlebihan, misalnya volumenya meninggi, tetapi kadang-kadang lamat-lamat yang hampir tidak kedengaran. Jadi sebenarnya musik perlu atau tidak dalam konteks pertunjukan ini.

Saya tetap tidak mengerti untuk apa bahasa yang dipakai berbeda-beda. Untuk sisi komunikasi buat saya jelas gagal. Bagaimana kita bisa menikmati sebuah esensi pertunjukan jika mata harus jelalatan ke tengah panggung dan melirik ke kiri sekedar untuk tahu apa dialognya. Belum lagi, tokoh Bisma yang nyata-nyata memaksa untuk tetap berdialog dengan bahasa Indonesia.

Kalau boleh dipuji, hanya tata busana dan tata panggung yang menarik. Pemakaian materi lurik dengan potongan pola Jepang tiba-tiba memberikan catatan bahwa inilah Mahabarata versi Jepang. Mbak-mbak di belakang saya dari awal sudah criwis terus soal baju para penampil. Saya yang mati-matian melotot mata dan pasang telinga untuk memahami apa yang ada di panggung, harus terganggu dengan mbak-mbak yang terus menerus komentar soal baju di atas panggung.

Tata panggung simpel saja. Latarbelakang hitam, dengan penempatan baju penampil dan kapstoknya. Saya kira ini juga cara untuk menghemat waktu pentas mengingat satu pemain bisa memainkan dua sampai tiga karakter yang berbeda.

Apa mau dikata. Kelebihan penonton dibandingkan kreator adalah kebebasan untuk berkomentar. Sebagai tontonan, Mahabarata Part 3 Kurusetra War ini tidak menjanjikan apa-apa. Tetapi, sutradara Hiroshi Koike berhasil menjadikan repertoar ini sebagai etalase kolaboratif, meskipun berhenti hanya sebagai bentuk saja.

Foto : Joko Harismoyo

Selasa, 27 September 2016

JAZZ DAN JAMU DI PAVILIUN 28



Tiba-tiba saja kita bisa mendengar komposisi rumit Charlie Parker. Atau scat singing-nya John Paul Larkin. Dan jangan kaget, mereka yang memainkan jazz standar secara fasih itu bukanlah musisi professional yang malang melintang di berbagai festival jazz yang semakin semarak di negeri ini. Mereka adalah anak-anak muda – benar-benar seumuran anak saya – yang fasih dan fine fine saja memainkan musik itu.

Muda dan culun banget. Buat anak-anak ini jazz bukan lagi identik dengan pola penampil yang bapak-bapak atau om-om dan tante-tante. Ada yang bertopi bisball dan sepatu kanvas, menenteng alat musik masing-masing. Ketika saling ketemu mereka akan main tos-tosan atau main peluk ala musisi hip-hop. Baru berasa kalau keterampilan mereka di atas rata rata adalah ketika alat musik ada di tangan mereka masing-masing.

Dan satu kejutan lagi. Sambil memainkan musik yang kapitalis ini, mereka akan memesan berbagai makanan dan minuman. Jangan heran kalau si pemain trumpet akan berhenti diantara jeda mainnya dan berteriak ke bar : mas, beras kencur pake es ! Ini kontemper banget. Sampai –sampai salah satu teman yang menjadi kolumnis tetap di majalah musik di Jepang terheran-heran. Melihat ulah anak-anak ini yang main jazz sambil minum jamu.

Kejadian seperti ini bisa kita temukan dengan mudah setiap hari Kamis di Paviliun 28. Sebuah rumah seni yang mempertemukan banyak pekerja kreatif di dalamnya. Ada beberapa ruangan yang bisa dijadikan tempat diskusi terbatas, sebuah ruang pemutaran film yang representatif dengan 40 tempat duduk, dan di ujung ruangan ada perangkat musik. Ada beberapa jenis makanan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, misalnya bestik kambing atau nasi krengseng. Ada deretan menu jamu yang bentukannya beda dengan ramuan ibu-ibu gendong atau yang biasa dikenal oleh generasi akhir 80-an. Saya juga barusan belakangan tahu kalau jamu mode baru itu olahan dari berbagai materi baku yang dikombinasikan. Istilahnya fussion. Tahun delapan puluhan istilah fussion nyantolnya ya lagi-lagi ke musik jazz.

Tempat ini ada karena nama Eugene Panji dan Nova Dewi. Nama pertama adalah seorang pekerja kreatif, yang eksplorasi estetikanya melintang dari musik sampai film. Grafis sampai makanan. Semua makanan yang ada di tempat ini adalah hasil eksplorasinya dalam menjelajah rasa. Ia memadukan cita rasa local dengan berbagai pendekatan yang hasilnya adalah rasa local dengan bentukan universal.

Nama kedua Nova Dewi adalah penemu dari racikan jamu rasa jazz tadi. Ada misalnya green tamarind. Namanya keren tapi coba dirasakan betul. Itu asem jawa yang campur bawur dengan daun-daunan lainnya. Saya tidak bisa mendiskripsikan secara detail, nanti pada bikin sendiri. Ada juga jamu standard seperti Tolak Angin, Jamu buat pegel-pegel dan capek.

Balik lagi ke musiknya. Setiap bulan ada acara Sister Hoodgigs (moga-moga tulisannya bener). Semua acara musical yang tema besarnya isu perempuan. Menariknya adalah, hampir setiap bulan pasti ada keluarga yang mengajak putra-putrinya menikmati acara ini. Sementara orang tuanya menikmati musik sambil minum jamu, anak-anaknya lesehan di depan penampil asyik sendiri dengan pastel dan pinsil warna. Ketika tiba giliran orang  tua mereka tampil, si anak-anak ini dengan takzim melihat penampilannya. Susah dijelaskan tempat macam apa ini. Tetapi percayalah, siapapun yang masuk ke tempat ini, akan keluar dengan keinginan untuk melakukan aksi kreatif.

Makanya, setiap Kamis datang ke sini. Ada Agam Hamzah, gitaris kondang jazz yang menjadi kapten kesebelasan anak-anak ini. Dengan sabar ia membuka cara pandang anak muda tentang musik jazz, menemani mereka untuk jam session dan sesekali ngobrol ngalor ngidul soal politik. Oh iya, di depan piano hampir pasti ada pianist cantik berambut pendek. Dengan sandal jepit kulit dan baju katun putih tiba tiba memainkan komposisi nya Red Garland berjudul Alone with the Blues. Saya kehabisan kata-kata untuk memuji dia. Datang saja Kamis ini dan selanjutnya…

Sumber Foto : Kompas


Sabtu, 27 Agustus 2016

GUNAWAN RAHARJA: KATA BUTET KARTAREDJASA : URIP ITU PERLU DRAMA...

GUNAWAN RAHARJA: KATA BUTET KARTAREDJASA : URIP ITU PERLU DRAMA...: Cerita ini terjadi di bulan September 2008. Saya sedang membantu sutradara Herwin Novianto dan Produser Leni Lolan...

KATA BUTET KARTAREDJASA : URIP ITU PERLU DRAMA...




Cerita ini terjadi di bulan September 2008. Saya sedang membantu sutradara Herwin Novianto dan Produser Leni Lolang menggarap film pertama mereka berjudul JagadXCode. Jabatan yang srabutan membuat saya harus bergerak lintas sektoral. Mulai dari nulis ide kecil-kecilan sampai ngurusi lokasi.
Siang itu kami shooting di belakang Pasar Beringharjo. Ada warung makan kecil yang kemudian dijadikan set untuk sebuah adegan. Di sebelahnya, ada toko kelontong besar namanya Toko Progo. Di ujung toko tersebut, pangkalan angkutan menuju dan dari Pasar Beringharjo ke hampir semua wilayah di Yogyakarta.
Ada istilah anak sotingan yaitu buka tutup. Biasanya berkaitan dengan lokasi jalan umum atau fasilitas umum lainnya. Kalau kita mau take, jalan atau fasilitas tersebut disterilkan. Kami akan memasang dua orang dari departemen lokasi plus HT dan polisi (kalau ada). Mereka yang akan dikomando dari set kalau jalanan atau lokasi harus bersih dari aktivitas.
Kami sudah bersiap dari pagi. Adalah budayawan Butet Kartaredjasa yang kerso rawuh dan main sebagai cameo. Cuma satu scene. Butuh perjuangan untuk meminta beliau ini main di film tersebut. Saya sudah mengkontaknya setahun sebelumnya mengingat kesibukannya yang tiada tara. Latihan blocking dan lain-lain selesai, saatnya take. Baru dua tiga kali take tiba tiba ada suara di HT kalau ada seseorang teriak-teriak dan protes.
Ternyata si om pemilik Toko Progo yang marah-marah. Alasannya tokonya sepi karena jalanan depan toko diblok. Kami nggak nutup jalan, wong buka tutup kok. Tetapi daripada eyel-eyelan mending dicari jalan keluar yang paling pas. Awalnya, produksi mau ganti lokasi. Tetapi saya protes. Bukan apa-apa. Mas Butet ini jadwalnya luar biasa dan beliau sudah meluangkan waktunya hari itu full untuk shooting film ini. Kasak kusuk kami di set ternyata didengarnya. Dia mendekati saya terus bisik-bisik : nopo ? Serba singkat saya cerita, terus dia bilang : “Parani wae, siap-siap yo”. Kaget saya dengan kalimat siap-siap itu. Tetapi saya akhirnya mengekor dia untuk mendatangi pemilik Toko Progo tersebut.
Di depan si om yang langsung melanjutkan protesnya di depan mas Butet dan Saya. Kira-kira begini protesnya (dalam bahasa Indonesia, aslinya Jawa).
Om : Gimana coba pak Butet, toko ku jadi sepi gara-gara anak-anak sotingan itu. Nggak lapor ke aku juga. Kalau rugi siapa yang nanggung coba pak ?
(Saya diam saja sambil melihat ekspresi si Om dan mas Butet yang manggut-manggut. Tiba-tiba mas Butet nyumet rokok Djarum Super mengisapnya dengan nikmat. Saya mak plong. Ini sasmito kalau dia sudah ketemu jalan keluarnya).
Mas Butet : sik-sik sik om. Saya tak cerita dulu. Sebenarnya, ini bukan film biasa. Film ini pesannya njeng sultan buat pariwisata. Nahhh, aku ini mbantu mereka biar filmnya kethok jogja nya..
Adegan selanjutnya adalah penjelasan panjang lebar mas Butet soal film, budaya dan pariwisata. Tidak lama kemudian kalimat ini yang keluar dari si Om.
Om : Saya manut pak Butet saja. Tapi ya jangan lama-lama. Sepi toko ku pak !
(Mas Butet menoleh ke saya untuk meyakinkan beliau si Om itu soal waktu. Saya pun meyakinkan si om bahwa shooting cuma memakan waktu setengah hari. Tidak lama dan tidak terlalu menganggu).

Kami berdua berlalu dari ruangan Toko Progo. Mas Butet tiba-tiba bilang : Urip itu perlu drama, bung. Kowe sih ra tau latihan (kamu sih nggak pernah latihan). Saya diam sambil senyum-senyum. Mencoba untuk mencerna apa itu drama yang dimaksudkan. Ngobrol dengan priyayi yang satu ini selalu multimakna. Dagelannya kadang lekoh ( bahasa Indonesia nya apa ini ?) tetapi bisa berdiskusi panjang lebar sampai pagi untuk sesuatu yang serius.

Kemudian hari sampai detik ini saya memaknai drama sebagai cara mensikapi masalah. Bahwa semua masalah itu perlu othak athik dengan beragam pola. Tidak harus satu tambah satu sama dengan dua. Dua bisa jadi dari empat dikurangi dua. Seperti kasus  cerita di atas. Ternyata hanya perlu ngomong dan dijelaskan detail. Memang belakangan saya juga baru tahu kalau menejer lokasi tidak menjelaskan secara rinci soal aktivitas shooting di area tersebut.

Hidup memang drama. Sedih, pedih, senyum, bahagia, tertawa-tawa. Ada yang tulus ada yang rekayasa. Kalau kata Ahmad Albar, dunia ini panggung sandiwara. Kalau kata Butet Kartaredjasa, hidup ini perlu drama…

(Foto : Majalah Hidup)




Kamis, 25 Agustus 2016

NONTON PAMERAN LUKISAN..


Kebiasaan nonton pameran lukisan ini saya mulai sejak SMP. Ini gara-gara almarhum Semsar Siahaan mampir ke Salatiga. Awalnya ia memamerkan lukisannya di GPD (Gedung Pertemuan Daerah) Kotamadya Salatiga. Awalnya, saya nggak begitu tertarik. Ketika ada rombongan orang gondrong-gondrong memasuki gedung tersebut barulah saya mulai menoleh, sampai sepenting apa kok orang-orang gondrong masuk ke gedung tersebut.  Jangan nanya dulu, karena memang di depan gedung tersebut tidak ada tulisan publikasi macam-macam. Apalagi baliho atau woro-woro seperti jaman sekarang. Ketika masuk ke gedung, saya secara tidak sengaja bertemu dengan Semsar yang membagikan selebaran. Isinya, besok dia mau melukis live.

Paginya saya sudah nunggu apa itu melukis live, di depan GPD. Tiba-tiba Semsar keluar cuma pakai kancut warna putih, terus rambutnya riap-riapan dibiarkan terurai. Ada lembaran kain kanvas digelar sepanjang 10 meter di depan gedung tersebut. di ujung kain, ada puluhan tong – yang belakangan saya baru tahu isinya cat – dan sepeda motor trail. Tiba-tiba ia mencelupkan rambutnya ke tong tersebut, mengguyurkan sebagian dari cat dengan warna lain, dan gulung-gulung di kanvas panjang itu. Selanjutnya, dia nyetater trail, mak wrengggggg..nyengklak dan sepeda motor trail itu membuat kanvas jadi morak marik. Untungnya, saya tidak ngajak bapak. Bisa bisa beliau bilang : wong gendheng mbok tonton..

Kain kanvas sudah full cat. Coretan yang gak jelas, tetapi di mata saya membentuk konfigurasi estetika. Warna yang pating tumpuk, bentuk yang saling bertabrakan antara roda sepeda motor dan pola yang dibuat oleh olah tubuhnya di atas kanvas. Tetapi yang paling akhir ini super spektakuler. Semsar dan beberapa temannya membawa lukisan yang dipajang di dalam gedung tersebut keluar, dan ditumpuk begitu saja, lalu dibakar. Setelah itu, ia membentangkan kain yang bertuliskan : Matinya seni rupa Indonesia !

Saya nggak mudeng blas. Gimana nggak, anak SMP celana pendek biru. Belajar menggambar di sekolah pake pastel dan cat air yang selalu tabrakan warnanya. Menarik garis juga tidak pernah bisa lurus, kok nonton seni rupa. Tetapi pelan-pelan saya mengerti bahwa disamping seni tari (saya belajar menari sejak SD), ada bidang kesenian lain yang atraktif yaitu melukis. Tetapi fokusnya bukan ke aktivitasnya, lebih ke melihat apa yang mereka hasilkan, yaitu lukisannya.

Kebiasaan itu semakin meningkat frekwensinya ketika tinggal di Solo. Ada Taman Budaya Surakarta (TBS) yang hampir dua bulan sekali melakukan aktivitas pameran lukisan. Kali ini motivasinya agak lain. Kalau pas pembukaan pameran pasti banyak makanan. Berkumpullah banyak seniman papan atas Solo waktu itu. Berbaur sama mereka ini biar ada bau-bau sok seniman nya gitulah..Kalau nonton pameran karena ruangannya dingin, ber AC. Biasanya setelah dua tiga kali putaran sama ndlosor di ujung nyender tembok.

Pindah ke Jakarta. Semakin banyak venue yang bisa didatangi. Ada TIM, Bentara Budaya, Galeri Antara, Galeri Edwin, Galeri Nasional banyak pokoknya. Saya bisa seharian ngiterin pameran kalau pas nganggur, dan kebetulan waktu itu banyak nganggurnya. Sesekali ketemu sama seniman top yang juga lagi lingak-linguk. Ketemu juga akhirnya sama Semsar Siahaan, pelukis dan aktivis yang kakinya invalid dipopor tentara ketika mereka masuk TIM (tahun berapa itu ya ?).

Saya tidak punya pretensi untuk tahu semua. Nonton ya nonton saja, menikmati garis warna, gradasi, kontur, perbedaan ekspresi muka dalam satu kanvas. Banyak yang nggak dong juga. Tetapi biar tetap sok eksis saya kadang-kadang munyer-munyeri kepala, megang dagu sok mikir padahal ya nggak ngerti juga. Tetapi cobalah amati misalnya lukisan Raden Saleh tentang Penangkapan Diponegoro. Mahakarya ini masih bisa disaksikan di Galeri Nasional. Lihat bagaimana Raden Saleh mampu mengungkapkan secara detail ekspresi dari masing-masing karakter dalam lukisan tersebut. Ada yang duduk di bawah Pangeran Diponegoro dengan eksprsei masygul, sedih dan satu tokoh yang terkesan nyokorke (apa bahasa Indonesianya ya ).

Lihat muka Diponegoro. Frontal ke depan ke sang penangkap. Ekspresi yang berbeda-beda juga digambarkan oleh para tentara Belanda. Detailnya sang maestro Raden Saleh. Atau di venue yang sama, ada lukisan Diego Rivera berjudul Gadis Melayu dengan Bunga. Perhatikan raut muka dan detail rambutnya. Si pelukis mencoba menterjemahkan gadis melayu dengan referensi gestural non Asia. Buat saya malah menjadi sesuatu yang menarik.

Buat saya nonton pameran lukisan adalah katarsis. Upaya membebaskan diri dari rutinitas visual yang itu-itu saja. Televisi, bioskop, ragam visual di gadget. Soal mengerti atau tidak ya bisa nomer kesekian.

Gitu saja ya…

Rabu, 24 Agustus 2016

NONTON 3 SRIKANDI : CHELSEA ISLAN...AKU JATUH CINTA PADAMU NAK..




Jangan banyak tanya dan komentar. Lihat saja Tara Basro yang diam tetapi meledak di dalam, Bunga Citra Lestari yang gamang tetapi menjadi seorang pemimpin yang baik, dan Chelsea Islan : aduh nak…aku jatuh cinta padamu. Jan ayu, merak ati, cengengesan e jan pas tenan  nak..Sinau boso suroboyan e mbok tambah suwe sithik... Temenan ki..aku tresno awakmu..

Reza Rahardian menjadi dirigen yang nyaris sempurna dalam film ini. Kalau dalam komposisi pemain bola, Reza memainkan peran sama baiknya dengan Tony Adams, kapten legendaris Arsenal (ini bukan karena gara-gara sutradaranya The Gooners ya. Tony Adams adalah tukang minum tetapi pekerja keras di Arsenal). Temperamental,  displin militer, tetapi menyisakan rasa cinta terhadap perempuan tua yang mengasuhnya.

Bermain sebagai Donald Pandiangan, ia sebenarnya bisa mencuri banyak kesempatan untuk menguasai adegan. Tetapi, ia memberi keleluasaan pada patner mainnya di film ini untuk membangun suasana bersama-sama. Lihat saja adegan kematian ibu Lilis di pekuburan. Ia mengatakan kalau Lilis harus tetap bersiap-siap menuju uji coba menjelang Olimpiade. Momen itu mempertautkan konteks adegan yang saling silang antara Donald dan Lilis. Dua-duanya pernah merasakan hal yang sama, yakni kehilangan ibunya. Tetapi nak Chelsea ternyata melepas adegan itu begitu saja. Dialog yang diucapkan sekedar : Bang Pandi benar…

Ini sebuah statement. Bahwa kepedihan tidak akan menghalangi sebuah tujuan yang lebih besar. Sepotong kalimat itu akan lebih intens jika saja Chelsea mengerti dialog tersebut adalah teks untuk memompa tensi cerita sampai ending. Jika saja Chelsea lebih jeli ketika menelisik skenario, pencapaiannya akan lebih klimaks lagi. Gitu ya nak…

Trio tiga srikandi ini mampu menjadikan film sebagai sebuah urutan adegan yang serba pas. Masing-masing saling mengisi tanpa kehilangan kontrol atas peran masing-masing. Memang Chelsea mencuri lebih banyak perhatian, tetapi rasanya memang karakternya yang suroboyoan ini membuat ia lebih bebas. Karakter seperti  ini ada bahayanya juga yakni ketika seorang pemain tidak mampu memainkannya secara pas, kolase yang sudah disusun akan menjadi berantakan.

Ipung sebagai DoP, melayani film ini tanpa cela. Ia tidak bergenit-genit dengan memaksakan keindahan yang tidak perlu, padahal rasanya banyak adegan yang mempunyai potensi ke arah itu. Latihan di pantai menjelang ending, misalnya. Tiba-tiba menjadi sebuah adegan yang dibuat menjadi sekedar informasi saja. Hanya saja (kritik ni Pung, kon gak sah nesu) jika saja apabila waktu itu (kalimat ini saya bikin soalnya saya pekewuh sama Ipung) dia bikin shot-shot detail rasanya kok lebih nyes..Tetapi ya itu hak dia sebagai kameraman tentu saja..

Silahkan joged-joged yang seumuran sama saya. Teristimewa adegan interior kamar mereka. Ini lagu Ratu Sejagad-nya Vonny Sumlang nyuri banget. Lagi-lagi nak Chelsea Islan yang merak ati itu membuat saya jatuh cinta. Saya nggak membandingkan peran dia dengan film-film sebelumnya karena karakternya juga beda. Tetapi apa yang terjadi kalau Chelsea cantik ini nggak ada.

Lepas dari saya gembeng atau tidak (gembeng itu bahasa Jawanya gampang nangisan) penempatan Ratu Sejagad membuat saya kembeng-kembeng. Kenapa ? Ini adalah eskapisme dari rasa tiga perempuan yang masih belum lepas dari masa remaja. Harusnya bisa nonton bioskop seminggu tiga kali sama pacarnya, ciuman tiap malam, joged-joged di Ebony tetapi tiba-tiba harus terperangkap di sebuah rumah yang jauh dari keramaian untuk sebuah prestasi. Nggak mudah lo ini. Tetapi buat saya rasa yang ingin disampaikan oleh Iman Brotoseno ini sampai ke penonton.

Sedikit buat musik. Banyak adegan yang sudah “berbunyi” tetapi dibunyikan kembali. Buat saya diam itupun bersuara. Kepedihan itu adalah bunyi dari rasa. Seperti kita yang diam tetapi mendengar detak jantung sendiri. Film 3 Srikandi buat saya mempunyai banyak adegan yang bunyinya nyaring. Tanpa harus ada aksentuasi musical film ini sudah berbunyi dengan sendirinya. Kecuali memang ada beberapa adegan yang memang relevan karena dibutuhkan kehadiran musik.

Ini adalah kerja besar pertama Iman Brotoseno. Rapih dengan kontur dramaturgi yang terjaga. Tidak pretensius menjadi film yang sok menfestival, tetapi lagi-lagi memang ramuan pas buat penonton. Ada keharuan, kegembiraan dan kebanggaan. Buat saya yang mendudukkan diri sebagai penonton biasa, kita boleh pulang dengan senyuman. Lagi-lagi ingat Chelsea Islan…matekkk akuuuu…

Demikian..