Selasa, 27 September 2016

JAZZ DAN JAMU DI PAVILIUN 28



Tiba-tiba saja kita bisa mendengar komposisi rumit Charlie Parker. Atau scat singing-nya John Paul Larkin. Dan jangan kaget, mereka yang memainkan jazz standar secara fasih itu bukanlah musisi professional yang malang melintang di berbagai festival jazz yang semakin semarak di negeri ini. Mereka adalah anak-anak muda – benar-benar seumuran anak saya – yang fasih dan fine fine saja memainkan musik itu.

Muda dan culun banget. Buat anak-anak ini jazz bukan lagi identik dengan pola penampil yang bapak-bapak atau om-om dan tante-tante. Ada yang bertopi bisball dan sepatu kanvas, menenteng alat musik masing-masing. Ketika saling ketemu mereka akan main tos-tosan atau main peluk ala musisi hip-hop. Baru berasa kalau keterampilan mereka di atas rata rata adalah ketika alat musik ada di tangan mereka masing-masing.

Dan satu kejutan lagi. Sambil memainkan musik yang kapitalis ini, mereka akan memesan berbagai makanan dan minuman. Jangan heran kalau si pemain trumpet akan berhenti diantara jeda mainnya dan berteriak ke bar : mas, beras kencur pake es ! Ini kontemper banget. Sampai –sampai salah satu teman yang menjadi kolumnis tetap di majalah musik di Jepang terheran-heran. Melihat ulah anak-anak ini yang main jazz sambil minum jamu.

Kejadian seperti ini bisa kita temukan dengan mudah setiap hari Kamis di Paviliun 28. Sebuah rumah seni yang mempertemukan banyak pekerja kreatif di dalamnya. Ada beberapa ruangan yang bisa dijadikan tempat diskusi terbatas, sebuah ruang pemutaran film yang representatif dengan 40 tempat duduk, dan di ujung ruangan ada perangkat musik. Ada beberapa jenis makanan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, misalnya bestik kambing atau nasi krengseng. Ada deretan menu jamu yang bentukannya beda dengan ramuan ibu-ibu gendong atau yang biasa dikenal oleh generasi akhir 80-an. Saya juga barusan belakangan tahu kalau jamu mode baru itu olahan dari berbagai materi baku yang dikombinasikan. Istilahnya fussion. Tahun delapan puluhan istilah fussion nyantolnya ya lagi-lagi ke musik jazz.

Tempat ini ada karena nama Eugene Panji dan Nova Dewi. Nama pertama adalah seorang pekerja kreatif, yang eksplorasi estetikanya melintang dari musik sampai film. Grafis sampai makanan. Semua makanan yang ada di tempat ini adalah hasil eksplorasinya dalam menjelajah rasa. Ia memadukan cita rasa local dengan berbagai pendekatan yang hasilnya adalah rasa local dengan bentukan universal.

Nama kedua Nova Dewi adalah penemu dari racikan jamu rasa jazz tadi. Ada misalnya green tamarind. Namanya keren tapi coba dirasakan betul. Itu asem jawa yang campur bawur dengan daun-daunan lainnya. Saya tidak bisa mendiskripsikan secara detail, nanti pada bikin sendiri. Ada juga jamu standard seperti Tolak Angin, Jamu buat pegel-pegel dan capek.

Balik lagi ke musiknya. Setiap bulan ada acara Sister Hoodgigs (moga-moga tulisannya bener). Semua acara musical yang tema besarnya isu perempuan. Menariknya adalah, hampir setiap bulan pasti ada keluarga yang mengajak putra-putrinya menikmati acara ini. Sementara orang tuanya menikmati musik sambil minum jamu, anak-anaknya lesehan di depan penampil asyik sendiri dengan pastel dan pinsil warna. Ketika tiba giliran orang  tua mereka tampil, si anak-anak ini dengan takzim melihat penampilannya. Susah dijelaskan tempat macam apa ini. Tetapi percayalah, siapapun yang masuk ke tempat ini, akan keluar dengan keinginan untuk melakukan aksi kreatif.

Makanya, setiap Kamis datang ke sini. Ada Agam Hamzah, gitaris kondang jazz yang menjadi kapten kesebelasan anak-anak ini. Dengan sabar ia membuka cara pandang anak muda tentang musik jazz, menemani mereka untuk jam session dan sesekali ngobrol ngalor ngidul soal politik. Oh iya, di depan piano hampir pasti ada pianist cantik berambut pendek. Dengan sandal jepit kulit dan baju katun putih tiba tiba memainkan komposisi nya Red Garland berjudul Alone with the Blues. Saya kehabisan kata-kata untuk memuji dia. Datang saja Kamis ini dan selanjutnya…

Sumber Foto : Kompas