Tiba-tiba saja kita bisa
mendengar komposisi rumit Charlie Parker. Atau scat singing-nya John Paul Larkin.
Dan jangan kaget, mereka yang memainkan jazz standar secara fasih itu bukanlah
musisi professional yang malang melintang di berbagai festival jazz yang
semakin semarak di negeri ini. Mereka adalah anak-anak muda – benar-benar
seumuran anak saya – yang fasih dan fine fine saja memainkan musik itu.
Muda dan culun banget.
Buat anak-anak ini jazz bukan lagi identik dengan pola penampil yang bapak-bapak
atau om-om dan tante-tante. Ada yang bertopi bisball dan sepatu kanvas,
menenteng alat musik masing-masing. Ketika saling ketemu mereka akan main
tos-tosan atau main peluk ala musisi hip-hop. Baru berasa kalau keterampilan
mereka di atas rata rata adalah ketika alat musik ada di tangan mereka
masing-masing.
Dan satu kejutan lagi.
Sambil memainkan musik yang kapitalis ini, mereka akan memesan berbagai makanan
dan minuman. Jangan heran kalau si pemain trumpet akan berhenti diantara jeda
mainnya dan berteriak ke bar : mas, beras kencur pake es ! Ini kontemper
banget. Sampai –sampai salah satu teman yang menjadi kolumnis tetap di majalah
musik di Jepang terheran-heran. Melihat ulah anak-anak ini yang main jazz
sambil minum jamu.
Kejadian seperti ini bisa
kita temukan dengan mudah setiap hari Kamis di Paviliun 28. Sebuah rumah seni
yang mempertemukan banyak pekerja kreatif di dalamnya. Ada beberapa ruangan
yang bisa dijadikan tempat diskusi terbatas, sebuah ruang pemutaran film yang
representatif dengan 40 tempat duduk, dan di ujung ruangan ada perangkat musik.
Ada beberapa jenis makanan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, misalnya
bestik kambing atau nasi krengseng. Ada deretan menu jamu yang bentukannya beda
dengan ramuan ibu-ibu gendong atau yang biasa dikenal oleh generasi akhir
80-an. Saya juga barusan belakangan tahu kalau jamu mode baru itu olahan dari
berbagai materi baku yang dikombinasikan. Istilahnya fussion. Tahun delapan
puluhan istilah fussion nyantolnya ya lagi-lagi ke musik jazz.
Tempat ini ada karena
nama Eugene Panji dan Nova Dewi. Nama pertama adalah seorang pekerja kreatif,
yang eksplorasi estetikanya melintang dari musik sampai film. Grafis sampai
makanan. Semua makanan yang ada di tempat ini adalah hasil eksplorasinya dalam
menjelajah rasa. Ia memadukan cita rasa local dengan berbagai pendekatan yang
hasilnya adalah rasa local dengan bentukan universal.
Nama kedua Nova Dewi
adalah penemu dari racikan jamu rasa jazz tadi. Ada misalnya green tamarind. Namanya
keren tapi coba dirasakan betul. Itu asem jawa yang campur bawur dengan
daun-daunan lainnya. Saya tidak bisa mendiskripsikan secara detail, nanti pada
bikin sendiri. Ada juga jamu standard seperti Tolak Angin, Jamu buat
pegel-pegel dan capek.
Balik lagi ke musiknya.
Setiap bulan ada acara Sister Hoodgigs (moga-moga tulisannya bener). Semua acara
musical yang tema besarnya isu perempuan. Menariknya adalah, hampir setiap
bulan pasti ada keluarga yang mengajak putra-putrinya menikmati acara ini.
Sementara orang tuanya menikmati musik sambil minum jamu, anak-anaknya lesehan
di depan penampil asyik sendiri dengan pastel dan pinsil warna. Ketika tiba
giliran orang tua mereka tampil,
si anak-anak ini dengan takzim melihat penampilannya. Susah dijelaskan tempat
macam apa ini. Tetapi percayalah, siapapun yang masuk ke tempat ini, akan
keluar dengan keinginan untuk melakukan aksi kreatif.
Makanya, setiap Kamis
datang ke sini. Ada Agam Hamzah, gitaris kondang jazz yang menjadi kapten
kesebelasan anak-anak ini. Dengan sabar ia membuka cara pandang anak muda
tentang musik jazz, menemani mereka untuk jam session dan sesekali ngobrol
ngalor ngidul soal politik. Oh iya, di depan piano hampir pasti ada pianist
cantik berambut pendek. Dengan sandal jepit kulit dan baju katun putih tiba
tiba memainkan komposisi nya Red Garland berjudul Alone with the Blues. Saya kehabisan
kata-kata untuk memuji dia. Datang saja Kamis ini dan selanjutnya…
Sumber Foto : Kompas