Jumat, 27 November 2015

Film AISYAH BIARKAN KAMI BERSAUDARA : Anak-anak yang Luar Biasa...


Sekolah beratapkan daun lontar dan berdinding kayu dari pohon yang sama dibelah tipis-tipis. Sisi depannya terbuka lebar supaya angin bisa masuk. Lantainya dari tanah yang berdebu ketika tapak anak-anak berlarian di atasnya. Ada papan tulis hitam dan coretan kapur bertuliskan Materi Pokok : membaca. Saya tidak tahu ini mata pelajaran apa.
Bangunan ini didirikan dua tahun lalu. Idenya dari penduduk desa yang melihat anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena jauh dari kota. Mereka bersama-sama membuat bangunan sekolah ala kadarnya, dan meminta bantuan pemda setempat akan kebutuhan guru. Akhirnya, sebuah sekolah dengan tiga ruangan dan dua guru. Masuk sekolah seperti layaknya sekolah ber SPP mahal di Pondok Indah, minus AC dan kantin sekolahnya. Ya..mereka kaya angin segar dan dimanjakan landscape super cantik di depan mereka.
Guru Aisyah masuk ke sekolah diantarkan oleh Pedro (Ari Kriting) dan Kepala sekolah (Erwin Usboko). Sejenak kemudian, ia masuk kelas dan mulai memperkenalkan diri kepada siswanya.

Anak-anak antusias melihat guru baru mereka yang cantik ini. Hanya saja, ada Lordis Defam, salah satu murid yang agitator dan mempengaruhi teman-temannya agar melawan guru barunya. Ulahnya dipicu oleh kata-kata pamannya yang pernah tinggal di Ambon ketika konflik antar agama pecah di sana. Sampai suatu ketika ia tidak masuk ke kelas dan “menantang” gurunya sambil melempar sebuah batu. “Kamu orang Islam. Kata pamanku orang Islam suka membunuh orang Kristen”. Siku Tavarez dan teman-temannya marah melihat kelakuan temannya tersebut. Mereka juga merasa tidak terima melihat gurunya diperlakukan seperti itu.
Buat saya ini pengalaman kesekian kalinya melihat orkestra acting anak-anak daerah. Sebelumnya saya pernah produksi di Wamena, Bukit Tinggi, Waingapu, Waikabubak, Ambon dan Atambua dengan sembilan puluh persen melibatkan anak-anak. Hasilnya luar biasa. Saya meyebutnya sebagai kelebihan dari sebuah bahasa tubuh yang sulit ditiru oleh pelaku peran professional sekalipun.  Anak anak ini tumbuh dalam alam imajinasi yang kontekstual dengan ruang budaya dan alamnya setiap hari. Keterbelakangan tehnologi membuat mereka masih susah untuk mengakses ruang audi visual, apakah itu televisi bahkan bioskop. Acting bagi mereka adalah gabungan dari naskah yang diimplementasikan lewat gesture mereka. Mereka belum dicemari oleh laku peran instan lewat televisi. Anak-anak ini tidak mempunyai referensi “bagaimana menjadi Ayu Ting Ting atau Dul”. Yang mereka tahu adalah Marcello menjadi Rudi Ama atau Martin menjadi Siku Tavarez.

Laudya Cynthia Bella mengatakan hal yang sama. Awalnya ia merasa tergagap melihat kepolosan anak-anak yang mendapatkan energi seni peran dari alam dan tradisi mereka. Ia tidak menyangka bahwa anak-anak Atambua dan Kupang ternyata mampu menghafal skenario, sampai ke scene number dengan detail plus adegannya ! Ia bahkan mengaku sempat diingatkan oleh salah satu pemeran anak-anak ini bahwa nomer adegan yang disebutnya salah.

Buat saya, kisah dari lokasi produksi film di luar Jawa adalah sebuah pengalaman kehidupan. Menjalani proses kreatif di pelosok negeri, dengan ragam cultural dan alam yang selalu berbeda membuat hidup semakin berwarna. Logika idealnya begini, film yang bagus dan berkualitas (duh, ini jargon Orde Baru) dan catatan perjalanan yang semakin beragam.

Tabik !