Sekolah
beratapkan daun lontar dan berdinding kayu dari pohon yang sama dibelah
tipis-tipis. Sisi depannya terbuka lebar supaya angin bisa masuk. Lantainya
dari tanah yang berdebu ketika tapak anak-anak berlarian di atasnya. Ada papan
tulis hitam dan coretan kapur bertuliskan Materi Pokok : membaca. Saya tidak
tahu ini mata pelajaran apa.
Bangunan
ini didirikan dua tahun lalu. Idenya dari penduduk desa yang melihat anak-anak
mereka tidak bisa sekolah karena jauh dari kota. Mereka bersama-sama membuat
bangunan sekolah ala kadarnya, dan meminta bantuan pemda setempat akan
kebutuhan guru. Akhirnya, sebuah sekolah dengan tiga ruangan dan dua guru.
Masuk sekolah seperti layaknya sekolah ber SPP mahal di Pondok Indah, minus AC
dan kantin sekolahnya. Ya..mereka kaya angin segar dan dimanjakan landscape
super cantik di depan mereka.
Guru
Aisyah masuk ke sekolah diantarkan oleh Pedro (Ari Kriting) dan Kepala
sekolah (Erwin Usboko). Sejenak kemudian, ia masuk kelas dan mulai
memperkenalkan diri kepada siswanya.
Anak-anak
antusias melihat guru baru mereka yang cantik ini. Hanya saja, ada Lordis
Defam, salah satu murid yang agitator dan mempengaruhi teman-temannya agar
melawan guru barunya. Ulahnya dipicu oleh kata-kata pamannya yang pernah
tinggal di Ambon ketika konflik antar agama pecah di sana. Sampai suatu ketika
ia tidak masuk ke kelas dan “menantang” gurunya sambil melempar sebuah batu. “Kamu
orang Islam. Kata pamanku orang Islam suka membunuh orang Kristen”. Siku
Tavarez dan teman-temannya marah melihat kelakuan temannya tersebut. Mereka
juga merasa tidak terima melihat gurunya diperlakukan seperti itu.
Buat
saya ini pengalaman kesekian kalinya melihat orkestra acting anak-anak daerah.
Sebelumnya saya pernah produksi di Wamena, Bukit Tinggi, Waingapu, Waikabubak,
Ambon dan Atambua dengan sembilan puluh persen melibatkan anak-anak. Hasilnya
luar biasa. Saya meyebutnya sebagai kelebihan dari sebuah bahasa tubuh yang
sulit ditiru oleh pelaku peran professional sekalipun. Anak anak ini tumbuh dalam alam
imajinasi yang kontekstual dengan ruang budaya dan alamnya setiap hari.
Keterbelakangan tehnologi membuat mereka masih susah untuk mengakses ruang audi
visual, apakah itu televisi bahkan bioskop. Acting bagi mereka adalah gabungan
dari naskah yang diimplementasikan lewat gesture mereka. Mereka belum dicemari
oleh laku peran instan lewat televisi. Anak-anak ini tidak mempunyai referensi “bagaimana
menjadi Ayu Ting Ting atau Dul”. Yang mereka tahu adalah Marcello menjadi Rudi
Ama atau Martin menjadi Siku Tavarez.
Laudya
Cynthia Bella mengatakan hal
yang sama. Awalnya ia merasa tergagap melihat kepolosan anak-anak yang
mendapatkan energi seni peran dari alam dan tradisi mereka. Ia tidak menyangka
bahwa anak-anak Atambua dan Kupang ternyata mampu menghafal skenario, sampai ke
scene number dengan detail plus adegannya ! Ia bahkan mengaku sempat diingatkan
oleh salah satu pemeran anak-anak ini bahwa nomer adegan yang disebutnya salah.
Buat
saya, kisah dari lokasi produksi film di luar Jawa adalah sebuah pengalaman
kehidupan. Menjalani proses kreatif di pelosok negeri, dengan ragam cultural
dan alam yang selalu berbeda membuat hidup semakin berwarna. Logika idealnya
begini, film yang bagus dan berkualitas (duh, ini jargon Orde Baru) dan catatan
perjalanan yang semakin beragam.
Tabik
!