Jangan banyak tanya dan
komentar. Lihat saja Tara Basro yang diam tetapi meledak di dalam, Bunga Citra
Lestari yang gamang tetapi menjadi seorang pemimpin yang baik, dan Chelsea
Islan : aduh nak…aku jatuh cinta padamu.
Jan ayu, merak ati, cengengesan e jan pas tenan nak..Sinau boso suroboyan e mbok tambah suwe sithik...
Temenan ki..aku tresno awakmu..
Reza Rahardian menjadi
dirigen yang nyaris sempurna dalam film ini. Kalau dalam komposisi pemain bola,
Reza memainkan peran sama baiknya dengan Tony Adams, kapten legendaris Arsenal
(ini bukan karena gara-gara sutradaranya
The Gooners ya. Tony Adams adalah tukang minum tetapi pekerja keras di Arsenal).
Temperamental, displin militer,
tetapi menyisakan rasa cinta terhadap perempuan tua yang mengasuhnya.
Bermain sebagai Donald
Pandiangan, ia sebenarnya bisa mencuri banyak kesempatan untuk menguasai
adegan. Tetapi, ia memberi keleluasaan pada patner mainnya di film ini untuk
membangun suasana bersama-sama. Lihat saja adegan kematian ibu Lilis di
pekuburan. Ia mengatakan kalau Lilis harus tetap bersiap-siap menuju uji coba
menjelang Olimpiade. Momen itu mempertautkan konteks adegan yang saling silang
antara Donald dan Lilis. Dua-duanya pernah merasakan hal yang sama, yakni
kehilangan ibunya. Tetapi nak Chelsea ternyata melepas adegan itu begitu saja.
Dialog yang diucapkan sekedar : Bang
Pandi benar…
Ini sebuah statement.
Bahwa kepedihan tidak akan menghalangi sebuah tujuan yang lebih besar. Sepotong
kalimat itu akan lebih intens jika saja Chelsea mengerti dialog tersebut adalah
teks untuk memompa tensi cerita sampai ending. Jika saja Chelsea lebih jeli
ketika menelisik skenario, pencapaiannya akan lebih klimaks lagi. Gitu ya nak…
Trio tiga srikandi ini
mampu menjadikan film sebagai sebuah urutan adegan yang serba pas.
Masing-masing saling mengisi tanpa kehilangan kontrol atas peran masing-masing.
Memang Chelsea mencuri lebih banyak perhatian, tetapi rasanya memang
karakternya yang suroboyoan ini membuat ia lebih bebas. Karakter seperti ini ada bahayanya juga yakni ketika
seorang pemain tidak mampu memainkannya secara pas, kolase yang sudah disusun
akan menjadi berantakan.
Ipung sebagai DoP, melayani
film ini tanpa cela. Ia tidak bergenit-genit dengan memaksakan keindahan yang
tidak perlu, padahal rasanya banyak adegan yang mempunyai potensi ke arah itu.
Latihan di pantai menjelang ending, misalnya. Tiba-tiba menjadi sebuah adegan
yang dibuat menjadi sekedar informasi saja. Hanya saja (kritik ni Pung, kon gak sah nesu) jika saja apabila waktu itu (kalimat ini saya bikin soalnya saya pekewuh
sama Ipung) dia bikin shot-shot detail rasanya kok lebih nyes..Tetapi ya
itu hak dia sebagai kameraman tentu saja..
Silahkan joged-joged
yang seumuran sama saya. Teristimewa adegan interior kamar mereka. Ini lagu
Ratu Sejagad-nya Vonny Sumlang nyuri banget. Lagi-lagi nak Chelsea Islan yang
merak ati itu membuat saya jatuh cinta. Saya nggak membandingkan peran dia
dengan film-film sebelumnya karena karakternya juga beda. Tetapi apa yang
terjadi kalau Chelsea cantik ini nggak ada.
Lepas dari saya gembeng atau tidak (gembeng itu bahasa Jawanya gampang nangisan) penempatan Ratu
Sejagad membuat saya kembeng-kembeng.
Kenapa ? Ini adalah eskapisme dari rasa tiga perempuan yang masih belum lepas
dari masa remaja. Harusnya bisa nonton bioskop seminggu tiga kali sama
pacarnya, ciuman tiap malam, joged-joged di Ebony tetapi tiba-tiba harus
terperangkap di sebuah rumah yang jauh dari keramaian untuk sebuah prestasi.
Nggak mudah lo ini. Tetapi buat saya rasa yang ingin disampaikan oleh Iman
Brotoseno ini sampai ke penonton.
Sedikit buat musik.
Banyak adegan yang sudah “berbunyi” tetapi dibunyikan kembali. Buat saya diam
itupun bersuara. Kepedihan itu adalah bunyi dari rasa. Seperti kita yang diam
tetapi mendengar detak jantung sendiri. Film 3 Srikandi buat saya mempunyai
banyak adegan yang bunyinya nyaring. Tanpa harus ada aksentuasi musical film
ini sudah berbunyi dengan sendirinya. Kecuali memang ada beberapa adegan yang
memang relevan karena dibutuhkan kehadiran musik.
Ini adalah kerja besar
pertama Iman Brotoseno. Rapih dengan kontur dramaturgi yang terjaga. Tidak
pretensius menjadi film yang sok menfestival, tetapi lagi-lagi memang ramuan
pas buat penonton. Ada keharuan, kegembiraan dan kebanggaan. Buat saya yang
mendudukkan diri sebagai penonton biasa, kita boleh pulang dengan senyuman.
Lagi-lagi ingat Chelsea Islan…matekkk
akuuuu…
Demikian..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar