Fs.
Dari dalam terdengar suaranya yang seperti mewancarai. Adi yang menjadi tokoh
dalam film ini bertanya jawab dengan seorang kakek dan perempuan setengah baya
yang belakangan kita tahu dia anaknya. Dengan lugas si kakek menjelaskan
bagaimana membunuh orang dan kemudian meminum darahnya. Biar gak stress,
katanya. Sejenak Adi diam. Kemudian ia menjelaskan bahwa salah satu dari orang
yang dibunuh si kakek adalah kakaknya. “Abangku orang yang dipotong juga waktu
itu “ katanya.
Si
kakek diam. Perempuan setengah baya itu pun hanya mengejapkan matanya berkali
kali. Si Adi menutup mulutnya sekilas, lalu kembali melihat ke mereka berdua.
Si kakek beberapa kali melihat ke kiri kamera. Mungkin ada jam di situ, atau
obyek lainnya. Kamera close up ke Adi yang bertanya ke perempuan tersebut. “Kakak
tahu kalau ayah dulu seorang pembunuh” katanya. Si perempuan tersebut diam tak
menjawab. Sesaat kemudian ia menjelaskan bahwa baru siang ini ia tahu siapa
ayahnya yang sebenarnya. Seorang pembunuh keji pada masanya.
Full
shot lagi. Mereka bertiga dalam diam. Hening. Saya sesak nafas dan hampir
muntah. Kamera ke close up si perempuan tersebut. “Kita sepertinya kenal ya”,
katanya ke Adi. Adi menjawab dengan senyum getir bahwa rasa-rasanya kenal. Ia
segera beranjak dari kursinya dan memeluk perempuan itu sambil keduanya
menangis. “Kita saudara ya..maafkan ayah saya”.
Saya
pun muntah.
Film
ini berhasil membuat saya merasakan kengerian, kepedihan dan rasa hening yang
menyesakkan. Cara Adi untuk melakukan wawancara yang menekan, lugas buat saya
itu adalah perjuangan luar biasa. Ia adalah korban. Ayahnya yang pikun dan lupa
ingatan setelah kakaknya hilang, dan ibunya yang tetap menanggung duka dan
dendam berkepanjangan. Sementara ia harus “menggantikan” fungsi Joshua
Oppenheimer untuk membuka tabir semua kekejaman manusia yang melakukan aksi
kekejian jaman tersebut, termasuk ke kakaknya.
Ia
harus mewancarai paman adik ibunya yang menjadi penjaga penjara. Si paman tahu
bahwa salah satu keponakannya ada di dalam penjara dan akan dihabisi nyawanya.
Tetapi kuasa di atas kuasa tidak mampu memberi energi keberanian, sekedar untuk
mengabarkan ke adik perempuannya kalau si keponakan ada di penjara. Dan dalam
wawancara itupun ia menyatakan bahwa “siapalah saya”. Jawaban khas masyarakat
yang tertindas.
Beberapa
kali ia datang mewakili sosok Joshua ke berbagai nara sumber. Dan yang ia
datangi adalah orang yang tahu peran atau bahkan ikut membunuh kakaknya
sendiri. Sebagai pewancara – subyek – ia harus tetap konsisten dengan logika
bertanya tanpa harus larut dalam emosi yang berkepanjangan. Saya hanya
membayangkan kalau ini terjadi pada saya. Tahu di depan mata pembunuh kakak
sendiri, sementara ayah dalam kondisi antara hidup dan mati.
Semua
subyek dalam film ini adalah korban. Tetapi dalam film ini saya tidak menemukan
siapa penyebab itu semua.
Tabik..