Sabtu, 31 Oktober 2015

MENULIS LAGI..MENGIRIM KABAR DAN PESAN TIADA HENTI..

Menulis adalah keseharian yang tidak bisa berhenti. Saya melakukannya tiap hari di banyak kesempatan. Ketika menunggu - menunggu apa saja - atau memang sengaja meluangkan waktu untuk menulis. Kadang-kadang ide datang begitu saja sehingga saya dengan gampang akan share ide itu ke HP orang tercinta dan ia mengerti kalau itu sebuah ide tulisan. Entah sekedar cerita kosong atau ide yang memang layak berkembang menjadi tulisan yang serius.
Semakin banyak pekerjaan, ide untuk menulis semakin banyak. Uniknya, ide tersebut bertolakbelakang dengan bidang pekerjaan yang sedang dilakoni. Misalnya, ketika waktu genting kerja untuk iklan, keinginan menulis fiksi atau puisi sepertinya jadi penyeimbang kerjaan "pabrikan" tersebut. 
Saya "serius" menulis dari sekolah dasar. Dari usia belasan, ditengah keterbatasan ekonomi keluarga, ibu menyisihkan uang gaji untuk langganan majalah Kawanku dan Kuncung, koran Suara Merdeka dan Kompas. Sehingga saya kenal nama Leila S. Chudori sejak ia membuat novel pendek berjudul Dalam Jiwaku di majalah Kawanku dan Ahmad Thohari lewat cerita bersambung di Kompas.
Keberanian terbesar untuk menulis semakin nggilani ketika saya kenalan dengan seorang cewek bernama Yiyik. Itu sekitar tahun 1982. Kami beda kasta. Saat itu saya tinggal di kampung terpencil di sebelah kuburan Cina, dan berdekatan dengan lokalisasi terkenal di Salatiga, sementara ia tinggal di sebuah area perumahan dosen Satya Wacana. Si Yiyik ini hitam manis - tentu saja - dan diidolakan oleh hampir cowok kota kecil Salatiga. Mereka biasanya datang berombongan, hahahihi, ngajak dia nonton atau berenang, ngajari breakdance dan lain sebagainya. Saya cuma menunggu waktu sisa mereka untuk bisa datang dan ketemu. 
Saya ingin ketemu dia karena ada satu cerpennya yang dimuat di majalah Kuncung. Saya penasaran betul bagaimana caranya ia bisa menulis dan dimuat di majalah. Ternyata tidak terlalu rumit. "Tulis saja di kertas. Nanti kita ngetik di sini". Ini luar biasa. Akhirnya semalaman saya menulis karangan saya yang pertama berjudul"Hero nama anjingku". Sore keesokan harinya, saya menulis ulang dengan mesin ketik bermerk Olivetti kepunyaan ayahnya. Malam itu juga, saya genjot sepeda ke kantor pos dan mengirimkannya ke Kuncung. Hasilnya gagal total.
Tetapi itu awalan yang luar biasa. Setelahnya, saya berani ngawur untuk banyak menulis, mengirimkannya ke majalah di Jakarta dan Semarang meskipun tetap tidak dimuat. Kegilaan saya menulis semakin menjadi. Cerpen, artikel sok serius sampai puisi. 
Saat mahasiswa menulis adalah pekerjaan. Betul-betul bisa menafkahi hidup dalam batasan yang maksimal. Bisa bayar kost, makan enak, mabuk ringan. Apalagi setelah bisa membeli sendiri mesin ketik bekas. Saya ingat ketika membayangkan diri menjadi Satyagraha Hoerip almarhum, dengan ketak ketik di lantai dua sebuah rumah tua tempat saya ngenger dan tiba tiba ada teman bincang yang naik ke tempat tersebut. Ujung-ujungnya tulisan berantakan dan kami hanya ngobrol ngalor ngidul.
Saat ini, menulis memberi banyak hal buat saya. Sebuah katarsis diantara banyak persoalan dan pekerjaan juga cara untuk mencatat sejarah diri sendiri.