Rabu, 24 Agustus 2016

NONTON 3 SRIKANDI : CHELSEA ISLAN...AKU JATUH CINTA PADAMU NAK..




Jangan banyak tanya dan komentar. Lihat saja Tara Basro yang diam tetapi meledak di dalam, Bunga Citra Lestari yang gamang tetapi menjadi seorang pemimpin yang baik, dan Chelsea Islan : aduh nak…aku jatuh cinta padamu. Jan ayu, merak ati, cengengesan e jan pas tenan  nak..Sinau boso suroboyan e mbok tambah suwe sithik... Temenan ki..aku tresno awakmu..

Reza Rahardian menjadi dirigen yang nyaris sempurna dalam film ini. Kalau dalam komposisi pemain bola, Reza memainkan peran sama baiknya dengan Tony Adams, kapten legendaris Arsenal (ini bukan karena gara-gara sutradaranya The Gooners ya. Tony Adams adalah tukang minum tetapi pekerja keras di Arsenal). Temperamental,  displin militer, tetapi menyisakan rasa cinta terhadap perempuan tua yang mengasuhnya.

Bermain sebagai Donald Pandiangan, ia sebenarnya bisa mencuri banyak kesempatan untuk menguasai adegan. Tetapi, ia memberi keleluasaan pada patner mainnya di film ini untuk membangun suasana bersama-sama. Lihat saja adegan kematian ibu Lilis di pekuburan. Ia mengatakan kalau Lilis harus tetap bersiap-siap menuju uji coba menjelang Olimpiade. Momen itu mempertautkan konteks adegan yang saling silang antara Donald dan Lilis. Dua-duanya pernah merasakan hal yang sama, yakni kehilangan ibunya. Tetapi nak Chelsea ternyata melepas adegan itu begitu saja. Dialog yang diucapkan sekedar : Bang Pandi benar…

Ini sebuah statement. Bahwa kepedihan tidak akan menghalangi sebuah tujuan yang lebih besar. Sepotong kalimat itu akan lebih intens jika saja Chelsea mengerti dialog tersebut adalah teks untuk memompa tensi cerita sampai ending. Jika saja Chelsea lebih jeli ketika menelisik skenario, pencapaiannya akan lebih klimaks lagi. Gitu ya nak…

Trio tiga srikandi ini mampu menjadikan film sebagai sebuah urutan adegan yang serba pas. Masing-masing saling mengisi tanpa kehilangan kontrol atas peran masing-masing. Memang Chelsea mencuri lebih banyak perhatian, tetapi rasanya memang karakternya yang suroboyoan ini membuat ia lebih bebas. Karakter seperti  ini ada bahayanya juga yakni ketika seorang pemain tidak mampu memainkannya secara pas, kolase yang sudah disusun akan menjadi berantakan.

Ipung sebagai DoP, melayani film ini tanpa cela. Ia tidak bergenit-genit dengan memaksakan keindahan yang tidak perlu, padahal rasanya banyak adegan yang mempunyai potensi ke arah itu. Latihan di pantai menjelang ending, misalnya. Tiba-tiba menjadi sebuah adegan yang dibuat menjadi sekedar informasi saja. Hanya saja (kritik ni Pung, kon gak sah nesu) jika saja apabila waktu itu (kalimat ini saya bikin soalnya saya pekewuh sama Ipung) dia bikin shot-shot detail rasanya kok lebih nyes..Tetapi ya itu hak dia sebagai kameraman tentu saja..

Silahkan joged-joged yang seumuran sama saya. Teristimewa adegan interior kamar mereka. Ini lagu Ratu Sejagad-nya Vonny Sumlang nyuri banget. Lagi-lagi nak Chelsea Islan yang merak ati itu membuat saya jatuh cinta. Saya nggak membandingkan peran dia dengan film-film sebelumnya karena karakternya juga beda. Tetapi apa yang terjadi kalau Chelsea cantik ini nggak ada.

Lepas dari saya gembeng atau tidak (gembeng itu bahasa Jawanya gampang nangisan) penempatan Ratu Sejagad membuat saya kembeng-kembeng. Kenapa ? Ini adalah eskapisme dari rasa tiga perempuan yang masih belum lepas dari masa remaja. Harusnya bisa nonton bioskop seminggu tiga kali sama pacarnya, ciuman tiap malam, joged-joged di Ebony tetapi tiba-tiba harus terperangkap di sebuah rumah yang jauh dari keramaian untuk sebuah prestasi. Nggak mudah lo ini. Tetapi buat saya rasa yang ingin disampaikan oleh Iman Brotoseno ini sampai ke penonton.

Sedikit buat musik. Banyak adegan yang sudah “berbunyi” tetapi dibunyikan kembali. Buat saya diam itupun bersuara. Kepedihan itu adalah bunyi dari rasa. Seperti kita yang diam tetapi mendengar detak jantung sendiri. Film 3 Srikandi buat saya mempunyai banyak adegan yang bunyinya nyaring. Tanpa harus ada aksentuasi musical film ini sudah berbunyi dengan sendirinya. Kecuali memang ada beberapa adegan yang memang relevan karena dibutuhkan kehadiran musik.

Ini adalah kerja besar pertama Iman Brotoseno. Rapih dengan kontur dramaturgi yang terjaga. Tidak pretensius menjadi film yang sok menfestival, tetapi lagi-lagi memang ramuan pas buat penonton. Ada keharuan, kegembiraan dan kebanggaan. Buat saya yang mendudukkan diri sebagai penonton biasa, kita boleh pulang dengan senyuman. Lagi-lagi ingat Chelsea Islan…matekkk akuuuu…

Demikian..