Sabtu, 27 Agustus 2016

GUNAWAN RAHARJA: KATA BUTET KARTAREDJASA : URIP ITU PERLU DRAMA...

GUNAWAN RAHARJA: KATA BUTET KARTAREDJASA : URIP ITU PERLU DRAMA...: Cerita ini terjadi di bulan September 2008. Saya sedang membantu sutradara Herwin Novianto dan Produser Leni Lolan...

KATA BUTET KARTAREDJASA : URIP ITU PERLU DRAMA...




Cerita ini terjadi di bulan September 2008. Saya sedang membantu sutradara Herwin Novianto dan Produser Leni Lolang menggarap film pertama mereka berjudul JagadXCode. Jabatan yang srabutan membuat saya harus bergerak lintas sektoral. Mulai dari nulis ide kecil-kecilan sampai ngurusi lokasi.
Siang itu kami shooting di belakang Pasar Beringharjo. Ada warung makan kecil yang kemudian dijadikan set untuk sebuah adegan. Di sebelahnya, ada toko kelontong besar namanya Toko Progo. Di ujung toko tersebut, pangkalan angkutan menuju dan dari Pasar Beringharjo ke hampir semua wilayah di Yogyakarta.
Ada istilah anak sotingan yaitu buka tutup. Biasanya berkaitan dengan lokasi jalan umum atau fasilitas umum lainnya. Kalau kita mau take, jalan atau fasilitas tersebut disterilkan. Kami akan memasang dua orang dari departemen lokasi plus HT dan polisi (kalau ada). Mereka yang akan dikomando dari set kalau jalanan atau lokasi harus bersih dari aktivitas.
Kami sudah bersiap dari pagi. Adalah budayawan Butet Kartaredjasa yang kerso rawuh dan main sebagai cameo. Cuma satu scene. Butuh perjuangan untuk meminta beliau ini main di film tersebut. Saya sudah mengkontaknya setahun sebelumnya mengingat kesibukannya yang tiada tara. Latihan blocking dan lain-lain selesai, saatnya take. Baru dua tiga kali take tiba tiba ada suara di HT kalau ada seseorang teriak-teriak dan protes.
Ternyata si om pemilik Toko Progo yang marah-marah. Alasannya tokonya sepi karena jalanan depan toko diblok. Kami nggak nutup jalan, wong buka tutup kok. Tetapi daripada eyel-eyelan mending dicari jalan keluar yang paling pas. Awalnya, produksi mau ganti lokasi. Tetapi saya protes. Bukan apa-apa. Mas Butet ini jadwalnya luar biasa dan beliau sudah meluangkan waktunya hari itu full untuk shooting film ini. Kasak kusuk kami di set ternyata didengarnya. Dia mendekati saya terus bisik-bisik : nopo ? Serba singkat saya cerita, terus dia bilang : “Parani wae, siap-siap yo”. Kaget saya dengan kalimat siap-siap itu. Tetapi saya akhirnya mengekor dia untuk mendatangi pemilik Toko Progo tersebut.
Di depan si om yang langsung melanjutkan protesnya di depan mas Butet dan Saya. Kira-kira begini protesnya (dalam bahasa Indonesia, aslinya Jawa).
Om : Gimana coba pak Butet, toko ku jadi sepi gara-gara anak-anak sotingan itu. Nggak lapor ke aku juga. Kalau rugi siapa yang nanggung coba pak ?
(Saya diam saja sambil melihat ekspresi si Om dan mas Butet yang manggut-manggut. Tiba-tiba mas Butet nyumet rokok Djarum Super mengisapnya dengan nikmat. Saya mak plong. Ini sasmito kalau dia sudah ketemu jalan keluarnya).
Mas Butet : sik-sik sik om. Saya tak cerita dulu. Sebenarnya, ini bukan film biasa. Film ini pesannya njeng sultan buat pariwisata. Nahhh, aku ini mbantu mereka biar filmnya kethok jogja nya..
Adegan selanjutnya adalah penjelasan panjang lebar mas Butet soal film, budaya dan pariwisata. Tidak lama kemudian kalimat ini yang keluar dari si Om.
Om : Saya manut pak Butet saja. Tapi ya jangan lama-lama. Sepi toko ku pak !
(Mas Butet menoleh ke saya untuk meyakinkan beliau si Om itu soal waktu. Saya pun meyakinkan si om bahwa shooting cuma memakan waktu setengah hari. Tidak lama dan tidak terlalu menganggu).

Kami berdua berlalu dari ruangan Toko Progo. Mas Butet tiba-tiba bilang : Urip itu perlu drama, bung. Kowe sih ra tau latihan (kamu sih nggak pernah latihan). Saya diam sambil senyum-senyum. Mencoba untuk mencerna apa itu drama yang dimaksudkan. Ngobrol dengan priyayi yang satu ini selalu multimakna. Dagelannya kadang lekoh ( bahasa Indonesia nya apa ini ?) tetapi bisa berdiskusi panjang lebar sampai pagi untuk sesuatu yang serius.

Kemudian hari sampai detik ini saya memaknai drama sebagai cara mensikapi masalah. Bahwa semua masalah itu perlu othak athik dengan beragam pola. Tidak harus satu tambah satu sama dengan dua. Dua bisa jadi dari empat dikurangi dua. Seperti kasus  cerita di atas. Ternyata hanya perlu ngomong dan dijelaskan detail. Memang belakangan saya juga baru tahu kalau menejer lokasi tidak menjelaskan secara rinci soal aktivitas shooting di area tersebut.

Hidup memang drama. Sedih, pedih, senyum, bahagia, tertawa-tawa. Ada yang tulus ada yang rekayasa. Kalau kata Ahmad Albar, dunia ini panggung sandiwara. Kalau kata Butet Kartaredjasa, hidup ini perlu drama…

(Foto : Majalah Hidup)