Jumat, 04 Desember 2015

Film AISYAH BIARKAN KAMI BERSAUDARA : (Lagi) Tentang Akting Anak-anak...


Saya masih menulis tentang produksi film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara. Banyak yang bisa diceritakan. Sekedar untuk katarsis biar nggak jadi uneg-uneg terselubung atau kalau mau sok gagah biar jado pelajaran bersama. Toh yang namanya produksi film (atau apapun) sudah menjadi darah daging kita semua.
Tulisan lalu saya sudah sempat singgung sedikit soal talent. Khususnya pemain local (saya sebenarnya tidak begitu suka dengan istilah local) yang terlibat dalam produksi film ini. Bahwa mereka sebenarnya tidak pernah menggeluti dunia acting, bagaimana mereka bisa ditemukan oleh casting director, saya harus angkat topi untuk Agus Gondrong sang pemilih pemain ini. Bapak gondrong ini ditanam produksi hampir satu setengah bulan untuk mencari calon pemain berdasarkan criteria yang dibutuhkan. Beliau benar-benar mencari dalam arti sebenarnya. Masuk ke sekolah-sekolah, berjalan-jalan di sepanjang trotoar Kupang sambil menawari anak-anak untuk casting. Untungnya dia tidak dicurigai. Ada beberapa anak yang cerita hidupnya hampir mirip dengan karakter yang dimainkannya. Siku Tavarez  yang memang seorang anak yang yatim. Atau tokoh Lordis Defam yang ditemukan ketika ia sedang membawa ikan yang ditombaknya sendiri di pantai !

Diskusi panjang tentang penokohan ini mendiskripsikan setiap karakter berdasarkan konteks dan karakter local. Artinya dengan mengambil lokasi dan materi di NTT maka tidak mungkin mencari pemain dengan latarbelakang tradisi yang berbeda. Kalau mau gampang, tinggal casting pemain dengan warna kulit dan rambut seperti anak NTT di Jakarta. Mereka pasti lebih cair untuk acting, karena sudah terbiasa untuk casting. Tetapi bahasa tubuh karena kultur dan lingkup geografis membuat mereka tetap berbeda. 

Pertama bahasa. Film ini sepakat untuk beberapa scene memakai bahasa Tetun. Anak-anak ini berasal dari Kupang dengan latarbelakang tradisi timor yang berbeda. Ada yang berayahkan Flores beribu Sumba, ada yang beribu alor berbapak papua. Tetapi mereka dengan konsisten mau untuk bekerja keras belajar bahasa Tetun yang audzubillah sulitnya ! Kata  fa dan fa’ itu jika tidak diucapkan dengan tepat artinya bisa beda jauh. Yang satu jalan yang satunya pisang !
Kedua, bahasa tubuh. Saya selalu terpesona dengan bahasa tubuh personal yang dimiliki oleh entis bangsa ini. Anak Minang berbeda dengan anak Jawa. Anak Timor beda bahasa tubuh dengan putra Papua. Banyak adegan dalam film ini yang tiba-tiba saja diwarnai oleh atraksi bahasa tubuh yang beraneka ragam. Gestur Laudya Cynthia Bella yang koreografis (ini istilah saya sendiri. Maksudnya adalah bagaimana ia mempolakan diri sebagai seseorang berdasarkan karakter, dengan bahasan pola gerak dramaturgi teks book) disejajarkan dengan kemarahan seorang Siku Tavarez yang melihat sang ibu guru dipermalukan oleh temannya sendiri. Ia tidak merasa perlu berteriak. Ia hanya melihat ke lawan mainnya dengan tajam, sedikit menundukkan kepala dan dengan langkah tegap menuju Lordis Defam (scene 99).

Yang paling gampang. Banyak adegan lari-lari di padang savanna, baik di tanah maupun di aspal jalanan. Suhu rata-rata 37 derajad celcius. Keringat sudah berubah menjadi butiran garam halus. Kru sudah mulai blingsatan kepanasan dari jam delapan pagi. Semua memakai baju tutup komplit dari leher sampai ujung kaki. Panas dan keringatan.
Tapi tidak buat anak-anak ini. Mereka tetap konsisten untuk patuh dipatronnya sebagai pemain. Disuruh apa saja oke tanpa komplain ini itu. Dicerita ini, mereka bersekolah tanpa memakai alas kaki. Sepanjang hari ketika take atau tidak mereka tidak mau memakai alas kaki. Alasannya luar biasa : biar sama rasanya pas shooting dan pas tidak shooting !
Anak anak ini mengajarkan kepada kita arti konsistensi dan daya tahan. Sesuatu yang hampir hilang pun bagi para aktor dan aktris senior kita.

Tabik..