Saya
masih menulis tentang produksi film Aisyah
Biarkan Kami Bersaudara. Banyak
yang bisa diceritakan. Sekedar untuk katarsis biar nggak jadi uneg-uneg
terselubung atau kalau mau sok gagah biar jado pelajaran bersama. Toh yang
namanya produksi film (atau apapun) sudah menjadi darah daging kita semua.
Tulisan
lalu saya sudah sempat singgung sedikit soal talent. Khususnya pemain local
(saya sebenarnya tidak begitu suka dengan istilah local) yang terlibat dalam
produksi film ini. Bahwa mereka sebenarnya tidak pernah menggeluti dunia
acting, bagaimana mereka bisa ditemukan oleh casting director, saya harus
angkat topi untuk Agus Gondrong sang pemilih pemain ini. Bapak gondrong ini
ditanam produksi hampir satu setengah bulan untuk mencari calon pemain
berdasarkan criteria yang dibutuhkan. Beliau benar-benar mencari dalam arti
sebenarnya. Masuk ke sekolah-sekolah, berjalan-jalan di sepanjang trotoar
Kupang sambil menawari anak-anak untuk casting. Untungnya dia tidak dicurigai.
Ada beberapa anak yang cerita hidupnya hampir mirip dengan karakter yang
dimainkannya. Siku Tavarez yang memang
seorang anak yang yatim. Atau tokoh Lordis Defam yang ditemukan ketika ia
sedang membawa ikan yang ditombaknya sendiri di pantai !
Diskusi
panjang tentang penokohan ini mendiskripsikan setiap karakter berdasarkan
konteks dan karakter local. Artinya dengan mengambil lokasi dan materi di NTT
maka tidak mungkin mencari pemain dengan latarbelakang tradisi yang berbeda.
Kalau mau gampang, tinggal casting pemain dengan warna kulit dan rambut seperti
anak NTT di Jakarta. Mereka pasti lebih cair untuk acting, karena sudah
terbiasa untuk casting. Tetapi bahasa tubuh karena kultur dan lingkup geografis
membuat mereka tetap berbeda.
Pertama
bahasa. Film ini sepakat untuk beberapa scene memakai bahasa Tetun. Anak-anak ini berasal dari
Kupang dengan latarbelakang tradisi timor yang berbeda. Ada yang berayahkan
Flores beribu Sumba, ada yang beribu alor berbapak papua. Tetapi mereka dengan
konsisten mau untuk bekerja keras belajar bahasa Tetun yang audzubillah
sulitnya ! Kata fa dan fa’ itu
jika tidak diucapkan dengan tepat artinya bisa beda jauh. Yang satu jalan yang
satunya pisang !
Kedua,
bahasa tubuh. Saya selalu terpesona dengan bahasa tubuh personal yang dimiliki
oleh entis bangsa ini. Anak Minang berbeda dengan anak Jawa. Anak Timor beda
bahasa tubuh dengan putra Papua. Banyak adegan dalam film ini yang tiba-tiba
saja diwarnai oleh atraksi bahasa tubuh yang beraneka ragam. Gestur Laudya Cynthia Bella yang koreografis
(ini istilah saya sendiri. Maksudnya adalah bagaimana ia mempolakan diri
sebagai seseorang berdasarkan karakter, dengan bahasan pola gerak dramaturgi
teks book) disejajarkan dengan kemarahan seorang Siku Tavarez yang melihat sang
ibu guru dipermalukan oleh temannya sendiri. Ia tidak merasa perlu berteriak.
Ia hanya melihat ke lawan mainnya dengan tajam, sedikit menundukkan kepala dan
dengan langkah tegap menuju Lordis Defam (scene 99).
Yang
paling gampang. Banyak adegan lari-lari di padang savanna, baik di tanah maupun
di aspal jalanan. Suhu rata-rata 37 derajad celcius. Keringat sudah berubah
menjadi butiran garam halus. Kru sudah mulai blingsatan kepanasan dari jam
delapan pagi. Semua memakai baju tutup komplit dari leher sampai ujung kaki.
Panas dan keringatan.
Tapi
tidak buat anak-anak ini. Mereka tetap konsisten untuk patuh dipatronnya
sebagai pemain. Disuruh apa saja oke tanpa komplain ini itu. Dicerita ini,
mereka bersekolah tanpa memakai alas kaki. Sepanjang hari ketika take atau
tidak mereka tidak mau memakai alas kaki. Alasannya luar biasa : biar sama
rasanya pas shooting dan pas tidak shooting !
Anak
anak ini mengajarkan kepada kita arti konsistensi dan daya tahan. Sesuatu yang
hampir hilang pun bagi para aktor dan aktris senior kita.
Tabik..