“Selamat datang
saudara ku dari Jakarta. Kami warga kampung Derok melihat bapak ibu sebagai saudara baru, bukan artis atau
tamu” Itulah sambutan hangat dari warga Kampung Derok, sebuah dusun terpencil
nir aliran listrik yang terletak kurang lebih dua puluh lima kilometer sebelah
selatan kota Atambua.
Tahun ini adalah
musim kering terpanjang di kampung ini. Ibu Dusun yang menceritakan dengan muka
tetap berseri.”Saya berdoa supaya jangan hujan dulu biar tetap bisa shooting.
Nahhh setelah shooting semoga Tuhan kasih hujan derasss”. Mereka butuh hujan
yang sudah tidak membasahi kampung mereka lebih dari sepuluh bulan. Tetapi demi
shooting ini, mereka rela untuk menunda keinginan melihat rintik hujan membasahi
tanah kampungnya.
Buat saya, ini bukan
kejadian yang pertama. Beberapa cerita yang hampir sama pernah saya alami. Di
Sumba, Merauke dan beberapa daerah lain. Kerelaan penduduk setempat untuk
menunda kebahagiaan mereka agar sekelompok pekerja kreatif (?) dapat terus
menuntaskan eksploatasi estetika mereka.
Kadang-kadang ngenes
juga saya ini. Rasa-rasanya kami ini sok menangnya sendiri gitu. Sampai-sampai
minta didoakan supaya tidak hujan dulu biar shooting tetap jalan. Egois nggak
sih ?
Eh ternyata tidak.
Penduduk Derok bangga setengah mati ketika mereka tahu bahwa lokasi film Aisyah
Biarkan Kami Bersaudara berada di kampung mereka.”Bupati belum pernah ke sini
bapa. Tetapi entah darimana bapak tahu kampung kami ini” Nah, inilah hebatnya
orang film. Blusak blusuk ketemu lokasi yang istimewa.
Dusun ini sejam dari
jalan umum yang menghubungkan Atambua dan Motaain. Masuk ke jalanan kampung
berlubang, dan harus melewati sungai kering sepanjang tiga puluh meter. Kalau
air naik bye bye lah kita ini. Untung musim kering panjang. Selama hayat
dikandung badan penduduk desa, para tetua adat dan (mungkin) cucu cicit,
kampung ini jauh dari gebyar lampu. Ada lampu menyala karena solar cell bantuan
dari pemerintah Belgia. Kampungnya Eden Hazard dan Fellaini yang pemain bola
itu, membuat Derok sedikit bercahaya di malam hari.
Ini menariknya pola
produksi film. Dusun ini hampir tidak ada toilet yang memadai. Dan tentu saja
kami yang hampir sekampung tidak mungkin memakai toilet milik penduduk. Dan
musim kemarau panjang tidak hanya menyengsarakan penduduk dusun ini, tetapi
kami juga merasakannya juga. Air penting buat minum, sholat, cuci muka. Dan di
Derok, air bersih yang layak dipakai untuk berbagai keperluan itu bisa didapat
dari sungai kering yang harus digali lagi. Jarak dari dusun ini hampir dua
kilo. Departemen produksi memutuskan untuk membangun toilet dan tandon air,
yang nantinya akan disumbangkan kepada penduduk desa ini.
Siang itu panas
terik di ubun-ubun kepala. Rombongan kru film datang berendengan masuk ke kampung.
Ada penari Likurai dan Tebe yang sudah ada di depan kami. Plek ketiplek pejabat
Orde Baru lah kami ini. Ada sambutan dari kepala desa setempat, pengalungan
kain sebagai tanda cinta dan kapur sirih tentu saja.
Setiap daerah
mempunyai tatanan sendiri-sendiri. Derok pun mempunyai adat istiadat yang mirip
dengan daerah NTT lain. Upacara sembelih ayam, minum tuak (di sini namanya
Sopi) dan makan bersama. Enak dan nyaman saja. Lalu kami bicara panjang lebar
tentang film ini, dan banyak hal.
Laudya Cynthia Bella
hebat dia. Bertahan dalam panas yang terik (saya saja kliyengan. Atau masalah
umur ya ?), senyum-senyum terus sementara penduduk tiba-tiba saja menjadikan
dirinya bukan publik figure. Mungkin karena tidak ada televisi mereka tidak
melihat Bella sebagai sosok selebriti. Tetapi ini menguntungkan buat film ini.
Penduduk bisa bergaul tanpa batas dengan dia, dan membuat Bella nyaman berada
diantara mereka. Kenyamanan ini perlu karena ini bagian dari bagaimana
membangun karakter (tokoh) yang nantinya ia mainkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar