Minggu, 08 November 2015

Film AISYAH BIARKAN KAMI BERSAUDARA : SELAMAT DATANG SAUDARAKU..


“Selamat datang saudara ku dari Jakarta. Kami warga kampung Derok  melihat bapak ibu sebagai saudara baru, bukan artis atau tamu” Itulah sambutan hangat dari warga Kampung Derok, sebuah dusun terpencil nir aliran listrik yang terletak kurang lebih dua puluh lima kilometer sebelah selatan kota Atambua

Tahun ini adalah musim kering terpanjang di kampung ini. Ibu Dusun yang menceritakan dengan muka tetap berseri.”Saya berdoa supaya jangan hujan dulu biar tetap bisa shooting. Nahhh setelah shooting semoga Tuhan kasih hujan derasss”. Mereka butuh hujan yang sudah tidak membasahi kampung mereka lebih dari sepuluh bulan. Tetapi demi shooting ini, mereka rela untuk menunda keinginan melihat rintik hujan membasahi tanah kampungnya.
Buat saya, ini bukan kejadian yang pertama. Beberapa cerita yang hampir sama pernah saya alami. Di Sumba, Merauke dan beberapa daerah lain. Kerelaan penduduk setempat untuk menunda kebahagiaan mereka agar sekelompok pekerja kreatif (?) dapat terus menuntaskan eksploatasi estetika mereka.
Kadang-kadang ngenes juga saya ini. Rasa-rasanya kami ini sok menangnya sendiri gitu. Sampai-sampai minta didoakan supaya tidak hujan dulu biar shooting tetap jalan. Egois nggak sih ?
Eh ternyata tidak. Penduduk Derok bangga setengah mati ketika mereka tahu bahwa lokasi film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara berada di kampung mereka.”Bupati belum pernah ke sini bapa. Tetapi entah darimana bapak tahu kampung kami ini” Nah, inilah hebatnya orang film. Blusak blusuk ketemu lokasi yang istimewa.
Dusun ini sejam dari jalan umum yang menghubungkan Atambua dan Motaain. Masuk ke jalanan kampung berlubang, dan harus melewati sungai kering sepanjang tiga puluh meter. Kalau air naik bye bye lah kita ini. Untung musim kering panjang. Selama hayat dikandung badan penduduk desa, para tetua adat dan (mungkin) cucu cicit, kampung ini jauh dari gebyar lampu. Ada lampu menyala karena solar cell bantuan dari pemerintah Belgia. Kampungnya  Eden Hazard dan Fellaini yang pemain bola itu, membuat Derok sedikit bercahaya di malam hari.
Ini menariknya pola produksi film. Dusun ini hampir tidak ada toilet yang memadai. Dan tentu saja kami yang hampir sekampung tidak mungkin memakai toilet milik penduduk. Dan musim kemarau panjang tidak hanya menyengsarakan penduduk dusun ini, tetapi kami juga merasakannya juga. Air penting buat minum, sholat, cuci muka. Dan di Derok, air bersih yang layak dipakai untuk berbagai keperluan itu bisa didapat dari sungai kering yang harus digali lagi. Jarak dari dusun ini hampir dua kilo. Departemen produksi memutuskan untuk membangun toilet dan tandon air, yang nantinya akan disumbangkan kepada penduduk desa ini.

Siang itu panas terik di ubun-ubun kepala. Rombongan kru film datang berendengan masuk ke kampung. Ada penari Likurai dan Tebe yang sudah ada di depan kami. Plek ketiplek pejabat Orde Baru lah kami ini. Ada sambutan dari kepala desa setempat, pengalungan kain sebagai tanda cinta dan kapur sirih tentu saja.
Setiap daerah mempunyai tatanan sendiri-sendiri. Derok pun mempunyai adat istiadat yang mirip dengan daerah NTT lain. Upacara sembelih ayam, minum tuak (di sini namanya Sopi) dan makan bersama. Enak dan nyaman saja. Lalu kami bicara panjang lebar tentang film ini, dan banyak hal.
Laudya Cynthia Bella hebat dia. Bertahan dalam panas yang terik (saya saja kliyengan. Atau masalah umur ya ?), senyum-senyum terus sementara penduduk tiba-tiba saja menjadikan dirinya bukan publik figure. Mungkin karena tidak ada televisi mereka tidak melihat Bella sebagai sosok selebriti. Tetapi ini menguntungkan buat film ini. Penduduk bisa bergaul tanpa batas dengan dia, dan membuat Bella nyaman berada diantara mereka. Kenyamanan ini perlu karena ini bagian dari bagaimana membangun karakter (tokoh) yang nantinya ia mainkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar